Senin, 08 Desember 2014

Jalan Kematian Aegyptiana



Musim hujan sudah berlalu sekitar tiga minggu. Mosquidro dan Edes Edilia, sepasang naymuk suami istri sangat tegang menyaksikan pupa-pupa mereka yang hari ini akan terbuka.

“Semoga mereka bisa melewatinya dengan baik...” harap Edilia dengan gundahnya, sambil memandang ke genangan air yang ada di baskom bekas.

Sebuah pupa kemudian terlihat membuka, diikuti oleh pupa disebelahnya.

“Suamiku, lihat!!”

Seekor nyamuk keluar dari pupanya, dia bersiap terbang. Satu gerakan cepat seperti melompat dilakukannya, kini dia sukses melakukan penerbangan pertamanya, ayah dan ibunya menyambutnya.

“Ayo nak, istirahat dulu. Biar nanti kamu bisa terbang dengan lebih baik,” saran Mosquidro, Edilia memandunya untuk terbang ke tepian jendela. Sedangkan Mosquidro tetap melayang di atas baskom menunggu pupa yang satunya. Nyamuk baru itu berusaha sekuat tenaga keluar dari pupanya.

“Ayo nak...” desah Mosquidro

“Bagaimana?” Albopictusitopang, saudara Mosquidro dari hutan datang.

“Setelah yang satu itu, kami langsung pergi.”

“Tapi sepertinya dia akan gagal,” ucap Albopictusitopang melihat keadaan di bawah sana.

Tiba-tiba satu pupa terbuka lagi, kedua nyamuk itu keluar bersamaan. Naas, nyamuk yang sudah lama berjuang keluar dari pupa, sayapnya menyentuh air.

“TIDAAK!!!” teriak Edelia dari tepi jendela. Kemudian dia menangis, Mosquito dan Albopictusitopang menghampirinya.

“Tenanglah, Edelia. Itu sudah kita maklumi,” kata Albopictusitopang mengingatkan Edelia tentang kehidupan.
“Tidak papa Edelia, itu satu lagi membutuhkan kita,” tunjuk Mosquidro pada nyamuk yang sudah melayang di atas baskom. “Ayo sini, nak.”

“Baiklah, kamu yang lebih dahulu keluar aku beri nama Aegisilsilia, dan kamu Aegyptiana,” kata Mosquidro.

“Selamat Mosquidro, kali ini kau dapat betina semua,” kata Albopictusitopang.

“Baiklah anak-anakku, sebenarnya di bawah sana masih banyak saudara-saudara kalian. Tapi kami hanya memilih yang pertama, itulah kalian. Sebelum kalian mulai mengenal dunia luar, ayah ingin menyampaikan apa yang selalu disampaikan kakek-kakek kita, ‘dalam hidup yang sebentar ini, matilah di tepukan tangan yang tepat.’ Ingatlah itu. Tidak semua manusia yang memukul kita dengan hati pada Tuhannya.”

-o0o-

“Wuhu... Aegyptiana, liat ini!!!” seru Aegisilsilia memamerkan manufernya.

“Biasa aja. Liat aku nih,” Aegyptiana meluncur dengan cepat menuju seorang manusia. Jleb!!! Tiba-tiba saja probosis Aegyptiana menancap di pergelangan manusia itu, dia mulai menghisap darah.

“O-Em-Ge... itu bagian yang sangat berbahaya, Aegyptiana. Dia bisa dengan mudah memukulmu!” Aegisilsilia memperingatkan Aegyptiana. Tidak lama kemudian, tangan orang itu meluncur hendak memukul Aegyptiana. Dengan lincah, Aegyptiana terbang melewati sela-sela jari orang itu. PLAKK!! Meleset tentunya.

“Haha... kali ini aku yang unggul,” seru Aegyptiana. Dia kemudian terbang menuju gorden, Aegisilsilia mengikutinya.

“Oke, aku mengaku kalah. Sekarang kita pulang yuk.”

“Tunggu, aku masih lapar,” sahut Aegyptiana.

“Tunggu,” tahan Aegisilsilia. Terlambat, Aegyptiana sudah terbang menuju penghuni rumah yang lain. Aegisilsilia terpaksa terbang mengikutinya.

Aegyptiana mendarat di leher calon korbannya. Dia menancapkan lagi probosisnya. Aegisilsilia memperhatikan di udara, kali ini dia melihat sesuatu yang lain dari adiknya. Tidak lama, Aegyptiana kembali terbang.

“Kamu bermasalah dengan probosismu?” tanya Aegisilsilia.

“Sudahlah, mungkin darahnya emang ngadat, jadi aku susah nyedotnya,” jawab Aegyptiana, dia menuju korban yang lain.

“Mending kita pulang saja, ini sudah hampir sore,” ajak Aegisilsilia.

“Aku masih lapar, Aegis...” Aegyptiana mulai jengkel. Kini dia mendarat di korban yang lain. Keadaannya sama, dia hanya menancapkan probosisnya, tapi tidak bisa menyedot  darah.

“Ada yang salah dengan kamu,” ucap Aegisilsilia.

-o0o-

Setelah menceritakan kejadian di tempat kerja, Mosquidro membawa Aegyptiana ke tempat Albopictusitopang. Mosquidro menceritakan kembali apa yang sudah diceritakan Aegisilsilia kepadanya.

“Apa benar apa yang dikatakan ayahmu itu, nak?” tanya Albopictusitopang.

“Seperti yang Anda dengar, om,” jawab Aegyptiana dengan sopan.

Albopictusitopang memeriksa tubuh Aegyptiana sebentar, lalu dia menghela napas, memandang pada Mosquidro.

“Apa anakku mendapatkan itu?” tanya Mosquidro dengan takut. Albopictusitopang mengangguk prihatin. Mereka kemudian memandang Aegyptiana.

“Apa? Ada apa ayah, om?” Aegyptiana mulai takut.

“Ada makhluk jahat ditubuhmu, nak. Dengeu. Dari dulu dia selalu mengganggu kita, menyebabkan penyakit mematikan pada manusia, dan kita lah yang selalu disalahkan untuk hal ini,” Albopictusitopang menjelaskan.

“Kita... eng... maksud ayah kalian para betina memang meminta protein dari darah manusia untuk meneruskan generasi, tapi kita bukanlah pembunuh. Ayah harap mulai hari ini kamu jangan lagi menggigit manusia.”

Mosquidro tahu betul apa yang akan terjadi pada anaknya dengan permintaanya tersebut. Makhluk hidup manapun yang tidak makan pasti akan mati.

“Ayah tega membiarkan aku mati?” Aegyptiana mulai terisak. Albopictucitopang hanya diam.

“Nak, semua dari kita pasti mati. Dan ayah harap kematianmu tidak sia-sia...”

“Iya. Kematianku untuk menelurkan telur-telur baru, ayah. Untuk itu aku harus menghisap darah!!” Aegyptiana memotong kalimat ayahnya, dia membentak.

“Kali ini situasinya beda, nak. Matilah dengan tidak menyebabkan kematian kepada manusia.”

“Ayah!!” dengan tergesa-gesa, Aegisilsilia datang menghampiri mereka.

“Ada apa, Aegisilsilia?” tanya Albopictusitopang.

“Salah satu anggota keluarga mereka ada yang teridentifikasi DBD. Mereka memanggil tim kesehatan, sekitar satu jam lagi mereka akan datang...”

“Foging. Amankan yang lainnya,” Albopictusitopang memberi komando.

“Manusia sialan! Biar kugigit mereka semua!” seru Aegyptiana, dia meluncur dengan cepat.

“Aegyptiana!” panggil Mosquidro, tapi Aegyptiana tidak kembali lagi. Dengan Aegisilsilia dan Albopictusitopang, mereka mempersiapkan evakuasi.

-o0o-

“Oh, jadi ini orang yang hendak membantai keluargaku,” Aegyptiana hinggap di tangan seorang anak yang sedang sibuk belajar.

“Eh, Adi, itu di tangan kamu ada nyamuk!” teman di sampingnya memberi tahu, orang yang dipanggil Adi itu bersiap memukulnya.

“Jangan dipukul sayang. Kalau tidak dari kita, dari mana lagi coba mereka dapat darah. Mereka mintanya cuma sedikit kok,” orang itu memberi tahu sambil tersenyum. Mendengar itu, Aegyptiana terdiam. “Kalau kamu tidak tahan dengan gigitannya, usir saja dengan meniupnya.”

PLAKK!! Anak itu tidak menghiraukan perkataan mamanya. Tapi mamanya tidak ambil pusing. Beruntung, Aegyptiana juga lolos dari pukulan, dia merenungkan kata-kata ibu itu di gorden tempat dia hinggap sekarang. Tidak berapa lama, tim kesehatan datang.

“Silakan masuk, pak, bu.” Sambut penghuni rumah.

“Aegyptiana, cepat kita pergi. Mati dengan racun dari foging sangat menyakitkan.” Tiba-tiba Aegisilsilia datang.

“Tunggu, sepertinya mereka tidak membawa mesin foging!?”

“Bagaimana keadaan anak ibu?” tanya salah seorang petugas.

“Masih terbaring, pak. Itu di kamar.”

“Hmm, semoga cepat sembuh ya, bu. O iya, hari ini kami mau mengambil sampel beberapa nyamuk di rumah ibu. Apa benar di sekitar sini banyak nyamuk demam berdarahnya. Ibu tidak keberatan kan?”

Mendengar itu, Aegyptiana mendapat peluang untuk membayar darah yang telah diambilnya. Sekalian ini jalan kematian yang bagus untuknya.

“Aegisilsilia, kamu pulang saja. Aku sudah menemukan jalanku.”

Aegisilsilia memahami keadaan. Dia pun terbang meninggalkan Aegyptiana yang terbang menuju salah satu petugas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar