Jumat, 11 September 2015

Ketika Cinta Tak Lagi Harus Bersama


Mentari siang ini terik, sepasang kaos kaki putih itu beruntung, sama beruntungnya dengan pakaian lain yang ikut dijemur di halaman belakang. Hanya saja mereka lebih bahagia daripada pakaian lainnya, sebab Si Kiri digantung berdampingan dengan Si Kanan.

“Setelah kita kering, kita bisa jalan-jalan lagi, Si Kiri,” ucap Si Kanan dengan tubuh yang masih meneteskan air, harum detergen menyeruak dari pori-pori besarnya.


“Iya, semoga saja majikan kita membawa ke tempat yang tidak hanya indah, tapi juga baik.” Kalimat Si Kiri optimis, hanya saja ekspresinya tidak menunjukkan keoptimisan itu, Si Kanan menangkap gelagat tidak wajar Si Kiri.

“Ada yang salah Si Kiri?”

“Aku khawatir kebersamaan kita tidak akan lama lagi...” ucap Si kiri lirih. Kedatangan awan gelap membuat suasana menjadi semakin pilu.

“Kok kamu tiba-tiba ngomong gitu?” Antara marah dan takut Si Kanan berucap. Angin kencang menguatkan ekspresi galau Si Kanan lebih terasa oleh Si Kiri, di tambah keadaan sekitar yang semakin gelap.

“Wah, sepertinya mau hujan nih. Majikan kita mana sih?” ucap selimut yang mulai gelisah.
Satu persatu pakaian berkomentar, seketika seluruh jemuran ribut, terlebih ketika angin semakin deras. Kemeja yang dijemur dengan gantungan baju berayun cepat ke kiri ke kanan, pakaian yang dijemur dengan jepitan lebih kokoh, hanya saja mereka tidak ingin pengharum mereka akan luntur oleh air hujan. Sepasang kaos kaki itu termasuk pakaian yang dijepit.

“Sepertinya apa yang aku takutkan itu akan terjadi hari ini, Si Kanan...” jawab Si Kiri yang berkibar hebat oleh angin. Sedikit demi sedikit jepitannya tergeser. Hingga akhirnya dia diterbangkan oleh angin sebelum akhirnya rintik hujan menimpa kesedihan Si Kanan yang hanya bisa pasrah melihat pasangannya terbang dibawa oleh takdir. Pakaian lain pun terdiam, menemani kesedihan Si Kanan.

-o0o-

Entah berapa lama dan berapa jauh Si Kiri diterbangkan angin, dia sudah mendarat sebelum hujan reda. Si Kiri terjaga dari pingsannya ketika matahari kembali menyapa coklatnya rumput kering, dan beberapa plastik kotor di sekitar Si Kiri. Kini tubuhnya benar-benar kotor, padahal dia baru saja dicuci.

Si Kiri memperhatikan sekitarnya. Ternyata dia tidak sendirian di sana. Ada kotak makanan yang kehilangan penutupnya, kertas kumal yang banyak coretan rumus kimia, bateray yang kulitnya terkelupas, dan benda-benda lainnya.

“Apa kalian juga terpisah dengan teman kalian saat hujan tadi?” sapa Si Kiri yang masih belum bisa meluruskan logikanya paska terombang ambing angin hujan.

“Hah? Apaan? Buka lagi matamu, kita ada di tempat sampah. Teman-teman kami ya ini, kotak bekal, bateray, dan yang lainnya. Dan sebentar lagi bisa jadi kita akan berpisah,” sahut si kertas dengan sewot.

“Akan berpisah? Maksud kamu?” tanya Si Kiri lagi.

“Kamu lihat anak kecil itu?” tunjuk bateray pada seorang anak kecil yang menyandang karung dengan tangan kiri di punggungnya, sedang tangan kanannya memegang sebilah gancu berkarat. “Sebentar lagi dia akan tiba di sini, mengorek-ngorek rumah kita, dan membawa beberapa teman kita.”

“Oh, sukurlah...” gumam Si Kiri.

“Sukur? Buat apa kamu mensukurinya?” tanya si kertas heran.

“Iya, itu artinya aku akan bertemu lagi dengan pasanganku kan? Dia akan mempertemukan kami lagi kan?” seru Si Kiri sumringah. Teman-teman barunya menertawakan kepolosan Si Kiri. Belum sempat si bateray menjelaskan, anak itu sudah tiba.

“Mama, aku liat kaos kaki yang masih utuh, ma! Boleh aku bawa ya!” teriak anak itu sambil mengangkat dan memperlihatkan Si Kiri pada mamanya.

Sesampainya di rumah, anak itu mencuci kembali Si Kiri. Si Kiri menjadi bersih lagi. Anak itu sangat senang mendapat Si Kiri, sampai-sampai dia menunggui Si Kiri ketika di jemur. Hal ini membuat Si Kiri diistimewakan, dan merasa senang.

Sekeringnya Si Kiri, anak itu langsung mengambilnya. Dia mengenakan Si Kiri di sebelah kanan. Sesaat Si Kiri merasa senang karena dia difungsikan lagi sebagaimana seharusnya. Namun ketika anak itu akan mengenakan kaos kaki satunya, Si Kiri kembali merasa sedih.

“Hai cantik,” sapa kaos kaki pelangi.

“Hai,” jawab Si Kiri hambar.

Kini anak itu selesai mengenakan kaos kaki, bahkan sepatu juga. Dia berdiri, celananya yang hanya tiga perempat membuat kedua kaos kaki itu tampak. Semua perabot yang ada di gubuk si anak sontak tertawa melihat sepasang kaos kaki itu.

“Haha... majikan kita kayak orang gila ya, sapu?” teriak keset mengomentari majikannya, tapi matanya melirik ke kaos kaki.

“Haha... kaos kakinya juga tuh gak sama, makanya aneh,” komentar kemoceng. Sapu hanya bisa tertawa. Sementara Si kiri kembali ke kesedihannya dan teringat lagi dengan Si Kanan.

Anak itu berlari ke tempat mereka biasa bermain bola. Hari ini sengaja dia tidak memulung karena ada pertandingan bola jalanan antar anak pemulung. Setelah bermain satu babak, anak itu beristirahat di pinggir lapangan. Karena lelah dan gerah, dia mencopot sepatu dan kaos kakinya.

Seekor anjing mendekat dan mengendus Si Kiri, anak itu tidak menyadarinya, saking asik melihat teman-temannya yang kini bermain menggantikannya.

“Oh, tidak... tidak. Menjauh dariku!” mohon Si Kiri. Namun anjing itu tiba-tiba membawa Si Kiri dengan mulutnya. Hingga anjing itu menghilang di persimpangan, anak itu tidak sadar juga satu kaos kakinya menghilang.

-o0o-

Entah berniat apa anjing itu terhadap Si Kiri, dia terus membawanya berlari, hingga akhirnya Si Kiri dilepaskannya di depan rumah asalnya. Bukan main bahagianya Si Kiri. Mungkin memang benar apa yang sering dikata orang, bahwa Allah selalu punya cara yang unik untuk membahagiakan setiap makhluk-Nya.

Tidak berapa lama, ibu dari majikan awal Si Kiri datang. Matanya langsung menangkap Si Kiri yang begitu kontras dengan rumput hijau mereka.

“Adik, sepertinya mama sudah menemukan kaos kaki kesayanganmu, nak!” teriak ibu itu sambil memungut Si Kiri. Bukan main senangnya Si Kiri, dalam hatinya hanya ada Si Kanan, Si Kanan, dan Si Kanan.

“Wah, sayang banget... karena adik pikir sudah hilang, kaos kaki yang satunya adik buang ma...” ucap adik kecewa setelah melihat Si Kiri yang dibawa mamanya. Semua angan dan khayal yang sudah terbayang oleh Si Kiri pun seketika menguap.

“Eh, buat kakak aja boleh gak?” seru kakak yang tiba-tiba keluar dari kamarnya.

“Buat apa?” tanya mama yang entah kenapa bertanya dulu. Padahal apapun jawabannya sudah pasti kaos kaki yang tidak terpakai itu akan diserahkannya.

“Kaos kaki seragamku hilang satu, kayaknya cocok tuh untuk melengkapinya,” jawab kakak mengambil Si Kiri dari tangan mama.

“Bukannya aneh kak kalau kaos kakinya berbeda?” adik khawatir dengan penampilan kakaknya nanti.


“Berbeda bukan berarti tidak bisa dibikin sama, kan? Tinggal kakak pasangin emblemnya, beres deh,” senyum kakak pada adik. Hingga akhirnya pintu kamar meyembunyikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar