Masa lalu, 2011
Dering hapeku berbunyi, aku yang sudah mau berangkat
kekampus, menyempatkan diri sejenak merogoh saku untuk mengangkat telepon itu.
Tidak kulihat adanya nama di situ, hanya deretan nomor yang tidak kuketahui
siapa pemiliknya.
“Halo? Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam...” Suara perempuan di seberang sana, aku
masih belum mengenalinya. “Ulun Fathimah,
kak.”
“Fathimah?” pikiranku masih melayang, mencoba mengingat apa
benar aku punya teman yang bernama Fathimah.
“Fa, kak. Risti Amanda Fathimah.”
Mendengar nama itu aku hampir tidak bisa menopang lagi
tubuhku. Aku langsung duduk di tempat terdekat aku bisa menaruh pantatku. Aku
tidak peduli bahwa aku sekarang berada di lingkungan orang-orang yang akan
ribut jika tahu aku mengobrol dengan cewek. Ini pertama kalinya dia
memperdengarkan suaranya, meski lewat telepon.
“Oh, Fa. Ada apa, Fa? Apa kabar?” Aku mencoba untuk tetap
tenang, berbasa-basi adalah alternatif pertama.
“Alhamdulillah baik, kak. Ulun hari ini take off, ulun sekolah ke Jawa. Nggg... ini nomor
abah.” Nomor abah katanya, berarti ini adalah nomor seorang Polantas satuan
Laka Lantas kota Rantau. Hebat.
“O gitu, hati-hati ya. Semoga sukses.” Aku benar-benar tidak
tahu harus menanggapi apa.
“Iya kak. Ulun minta
rela ya, kali aja pernah ada salah,” ucapnya lagi. Kudengar itu semacam suara
perpaduan dari ragu, malu, dan tulus, sejak pertama kuangkat teleponnya tadi.
“Iya. Sama-sama, Fa.”
-o0o-
Lebaran, 18 Juli 2015
Rumahku dipenuhi banyak keluargaku yang datang dari kota.
Keluarga besar ayahku, keluarga besar kami. Hampir setiap lebaran selalu
begini. Dan diantara mereka, Erwin yang merupakan teman kecilku juga ada di
sana. Kami yang lumayan lama terpisah bercengkerama ini itu, dan tiba-tiba dia
menukik.
“Eh, Rahmi nikah, Fa nikah, ikam pabila jua?” Entah istilah apa yang boleh kusebut untuk
kalimatnya itu. Pertanyaan, tamparan, bombardir? Entahlah. Tapi barusan dia
bilang Fa sudah menikah. Sungguh!?
“Eh, eh? Apa tadi, Fa nikah?”
“Iya. Kamu gak tau? Aku liat di Facebooknya,” jawabnya.
“Wah, Fbku sudah diblokirnya, bro.”
“Eh, masa?”
“Iya. Kemarin memang sempat kami terhubung lagi di inbox fb.
Tapi kamu tahu kan, setelah dia lama menghilang, kami kehilangan kontak, aku
sudah melupakannya, dan tiba-tiba Vi menggantikannya. Ya jelas aku tidak
menanggapi banyak obrolan Fa.”
“Halah kam nih!” dia
mendorongku, dia pikir aku sedang menggombal. Tapi aku hanya menanggapinya
dengan tersenyum. Kemudian meneruskan ceritaku.
“Nah, beberapa bulan setelah itu, nama di inbox itu yang
seharusnya nama akun Fa berubah menjadi facebook
user, dan pas kucoba mengkliknya tidak terhubung ke profil si pemilik.”
“O iya. Diblokirnya itu...”
“Eh sialan. Hanya itu tanggapan kamu?” kali ini aku yang
menampar bahunya. Lelucon kami memang begitu. Dia tertawa.
“Lalu kamu sendiri bagaimana? Vi itu gimana?” dia menagih
jawabannya.
“Aku merasa seperti seorang penjahat bro diperlakukannya gitu. Udah ngeblokir, nikah gak
ngundang-ngundang lagi!” aku tidak menghiraukan pertanyaan Erwin.
“Lalu kamu sendiri gimana?” ulangnya lagi, juga tidak
mengindahkan cercaanku.
“Kalau memang aku ada salah, seharusnya dia bilang, biar aku
bisa memperbaikinya...”
“Ikam tuh yang gak
ngerti dengan telepon dari dia sesat sebelum dia pergi dulu!” Erwin menepuk
bahuku, kalimatnya itu semacam sebuah tamparan tambahan. Aku melongo
memandanginya.
“Jadi kamu sendiri gimana?” Ini ketiga kalinya dia bertanya.
“Kuharap Vi tidak memblokir fbku, dan tetap mengundangku
dipernikahannya kelak.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar