Senin, 05 Januari 2015

Geta

Geta merupakan tempat untuk melatih seseorang menjadi Pembimbing Desa. Pembimbing Desa bertugas melindungi dan membimbing sebuah desa. Setiap desa hanya memiliki satu Pembimbing Desa. Mereka dibayar mahal untuk ini, dan semua penduduk sangat patuh terhadap Pembimbing Desa. Bahkan mereka menganggap semua kata-kata Pembimbing Desa selalu benar. Karena setiap mereka selalu membuat keadaan desa menjadi lebih baik.


Tidak mudah untuk menjadi bagian dari Geta. Setiap anak selalu memimpikan untuk sekolah ke sana. Begitu pun orang tua mereka, sangat menginginkan anaknya untuk menjadi seorang Pembimbing Desa. Namun seleksi masuk ke Geta sungguh berat, dari keterampilan bertahan hidup, berburu, sampai kecerdasan mereka tes. Setiap tahun belum tentu ada pembukaan sekolah. Mereka melakukan penerimaan berdasar kouta alumni menganggur yang mereka miliki.

Hari ini kami akan menerima seorang Pembimbing Desa baru, sebab pembimbing Desa kami yang terdahulu sudah lanjut usia dan dianggap tidak efektif lagi setiap keputusan yang diambilnya. Yang memutuskan semua itu adalah para dewan di Geta.

Semua orang berkumpul di alun-alun. Walikota masih beridato, semua menunggu dengan cemas saat detik-detik diumumkan nama Pembimbing Desa yang baru.

“... Pak Rahal Karda!” ucap walikota. Semua orang bersorak, walikota kemudian mempersilakan pak Rahal Karda untuk naik ke podium. Dia kemudian berpidato, pidato yang kurang lebih sama seperti pidato-pidato pra Pembimbing Desa yang lain.

-o0o-

Dua tahun sudah berlalu sejak pengangkatan Pembimbing Desa Rahal. Seprti Pembimbing Desa yang lain, pak Rahal Karda sangat dipatuhi dan dihormati oleh warga desa. Bayaran yang pantas untuk sebuah kesejahteraan yang diberikannya.

“Nak, tolong antarkan ini ke rumah Pembimbing Desa Rahal ya.” Ibuku menyerahkan keranjang yang aku pun tidak tahu apa isinya. Aku langsung menerimanya dan menuju rumah Pembimbing Desa.

Di depan rumahnya, ada seekor kuda. Aku tahu itu bukan punya pak Rahal –beliau mempunyai tamu. Aku menunggu di luar, saat itulah aku tidak sengaja menguping.

“...penambangan perak yang di selatan itu hentikan saja. Bilang saja jika diteruskan akan membuat banjir besar. Kemudian arahkan merka untuk mulai menambang batu di tengah hutan...”

“Tapi mereka akan mempertanyakan Perjanjianl 31 B, Jiko.”

Perjanjian 31 B adalah peraturan yang melarang warga untuk menebang pohon dalam jumlah banyak. Dan tentang batuan yang ada di hutan itu, aku memang sudah lama mendengarnya. Mereka tidak menambangnya karena pasal 31 B itu.

“Halah... kamu kan bisa mengaturnya... Aku sangat butuh kayu-kayu hutan kalian.”

TOK.. TOK..

“Siapa?” jawab pak Rahal.

“Saya pak, Lendra. Dari keluarga Tera. Ibu mengirim sesuatu untuk bapak,” jawabku. Aku harus mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum mereka mendapatiku sedang menguping. Pintu kemudian terbuka, wajahnya sangat tenang dan ramah dengan senyuman itu.

“Silakan masuk Lendra,” ucapnya.

“Oh, ada tamu ya? Kalau begitu saya langsung pulang saja, pak. Ini kirimannya,” sesaat aku melirik lawan bicaranya, namun orang yang dipanggilnya Jiko itu hanya kelihatan punggungnya. Aku langsung menyerahkan keranjang itu.

“Oh, begitu baik. Terimaksih Lendra. Sampaikan salamku pada ibu dan ayahmu. Hati-hati ya.”

Sesampainya di rumah, aku langsung menceritakan semuanya pada ibu dan ayah.

“Ah, kamu jangan ngaco. Mana mungkin Pendamping Desa melakukan itu pada penduduknya!” kata ibuku yang seperti penduduk-penduduk lainnya. Fanatik terhadap Pembimbing Desa.

“Ketakutan ayah selama ini terjadi...” ucap ayah.

“Maksud ayah?” aku dan ibu kaget mendengar komentarnya.

“Melihat dari sikap penduduk terhadap Pembimbing Desa, suatu saat pasti ada yang memanfaatkan posisi itu. Dan sekaranglah terjadinya...” beliau memandang kami dengan wajah yang sangat tegang atau mungkin ketakutan.

-o0o-

“Ada pengumuman dari Pembimbing Desa!!” teriak tetanggaku. Dia berlari menuju alun-alun desa.

“...demi keselamatan desa kita,” dia selesai dengan pengumumannya.

“Apa pengumumannya?” tanyaku pada orang yang sepertinya menyimak dari awal hingga akhir.

“Penambangan perak di sungai selatan bisa mengakibatkan banjir besar. Jadi agar perekonomian desa kita tetap jalan, kita menambang batu di tengah hutan.”

“Semuanya setuju?”

“Maksud kamu?” sepertinya dia marah akan pertanyaanku. Sebuah pertnyaan yang seolah mengatakan Pembimbing Desa salah.

“Bukankah itu melanggar Perjanjian 31 B?”

“Ini pengecualian, Lendra. Jika kita tidak melakukannya, maka perekonomian desa kita akan lumpuh!” Dia kemudian langsung meninggalkanku.

-o0o-

Sudah satu tahun mereka beraktifitas di hutan. Area penambangan semakin luas. Dan aku sudah melihat dengan jelas seperti apa wajah Jiko. Sang pembeli kayu. Tentunya dia membayar kepada Rahal Karda. Selebihnya aku tidak tahu, apakah uang itu juga digunakan untuk kesejahteraan kami. Tapi yang jelas Rahal Karda pun terlihat lebih kaya dengan rumahnya yang semakin besar, beberapa bar, dan hewan ternak serta tunggangan yang besar.

“Aku baru tahu, ternyata tidak semua orang dari Geta adalah orang baik, ayah.”

“Semua yang masuk ke Geta adalah orang baik dan cerdas. Seleksinya yang mengatakan demikian. Namun setelah dia menjadi Pembimbing Desa itulah yang dapat mengubahnya. Kamu benar, tidak semua orang dari Geta adalah orang baik. Namun bukan berarti kita harus membenci semuanya. Lihat kelakuan mereka, jika tidak sesuai dengan Perjanjian-perjanjian yang ada, mereka bukan orang yang benar.”

“Semuanya sudah siap,” kata ibu. Dia memasukkan bundelan kain yang besar, kemudian rantang ke gerobak.

Kami memutuskan untuk pindah ke desa sebelah. Hutan desa kami sudah hampir gundul. Kata ayah, pada musim hujan bulan depan kemungkinan desa ini akan terendam banjir. Ternyata sesuatu yang dikatakan untuk menghindari banjir malah membuat banjir. Tidak semua orang dari Geta adalah orang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar