Geta merupakan tempat untuk melatih seseorang menjadi
Pembimbing Desa. Pembimbing Desa bertugas melindungi dan membimbing sebuah
desa. Setiap desa hanya memiliki satu Pembimbing Desa. Mereka dibayar mahal
untuk ini, dan semua penduduk sangat patuh terhadap Pembimbing Desa. Bahkan
mereka menganggap semua kata-kata Pembimbing Desa selalu benar. Karena setiap
mereka selalu membuat keadaan desa menjadi lebih baik.
Tidak mudah untuk menjadi bagian dari Geta. Setiap anak
selalu memimpikan untuk sekolah ke sana. Begitu pun orang tua mereka, sangat
menginginkan anaknya untuk menjadi seorang Pembimbing Desa. Namun seleksi masuk
ke Geta sungguh berat, dari keterampilan bertahan hidup, berburu, sampai
kecerdasan mereka tes. Setiap tahun belum tentu ada pembukaan sekolah. Mereka
melakukan penerimaan berdasar kouta alumni menganggur yang mereka miliki.
Hari ini kami akan menerima seorang Pembimbing Desa baru,
sebab pembimbing Desa kami yang terdahulu sudah lanjut usia dan dianggap tidak
efektif lagi setiap keputusan yang diambilnya. Yang memutuskan semua itu adalah
para dewan di Geta.
Semua orang berkumpul di alun-alun. Walikota masih beridato,
semua menunggu dengan cemas saat detik-detik diumumkan nama Pembimbing Desa
yang baru.
“... Pak Rahal Karda!” ucap walikota. Semua orang bersorak,
walikota kemudian mempersilakan pak Rahal Karda untuk naik ke podium. Dia
kemudian berpidato, pidato yang kurang lebih sama seperti pidato-pidato pra
Pembimbing Desa yang lain.
-o0o-
Dua tahun sudah berlalu sejak pengangkatan Pembimbing Desa
Rahal. Seprti Pembimbing Desa yang lain, pak Rahal Karda sangat dipatuhi dan
dihormati oleh warga desa. Bayaran yang pantas untuk sebuah kesejahteraan yang
diberikannya.
“Nak, tolong antarkan ini ke rumah Pembimbing Desa Rahal
ya.” Ibuku menyerahkan keranjang yang aku pun tidak tahu apa isinya. Aku
langsung menerimanya dan menuju rumah Pembimbing Desa.
Di depan rumahnya, ada seekor kuda. Aku tahu itu bukan punya
pak Rahal –beliau mempunyai tamu. Aku menunggu di luar, saat itulah aku tidak
sengaja menguping.
“...penambangan perak yang di selatan itu hentikan saja.
Bilang saja jika diteruskan akan membuat banjir besar. Kemudian arahkan merka
untuk mulai menambang batu di tengah hutan...”
“Tapi mereka akan mempertanyakan Perjanjianl 31 B, Jiko.”
Perjanjian 31 B adalah peraturan yang melarang warga untuk
menebang pohon dalam jumlah banyak. Dan tentang batuan yang ada di hutan itu,
aku memang sudah lama mendengarnya. Mereka tidak menambangnya karena pasal 31 B
itu.
“Halah... kamu kan bisa mengaturnya... Aku sangat butuh
kayu-kayu hutan kalian.”
TOK.. TOK..
“Siapa?” jawab pak Rahal.
“Saya pak, Lendra. Dari keluarga Tera. Ibu mengirim sesuatu
untuk bapak,” jawabku. Aku harus mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum mereka
mendapatiku sedang menguping. Pintu kemudian terbuka, wajahnya sangat tenang
dan ramah dengan senyuman itu.
“Silakan masuk Lendra,” ucapnya.
“Oh, ada tamu ya? Kalau begitu saya langsung pulang saja,
pak. Ini kirimannya,” sesaat aku melirik lawan bicaranya, namun orang yang
dipanggilnya Jiko itu hanya kelihatan punggungnya. Aku langsung menyerahkan
keranjang itu.
“Oh, begitu baik. Terimaksih Lendra. Sampaikan salamku pada
ibu dan ayahmu. Hati-hati ya.”
Sesampainya di rumah, aku langsung menceritakan semuanya
pada ibu dan ayah.
“Ah, kamu jangan ngaco. Mana mungkin Pendamping Desa
melakukan itu pada penduduknya!” kata ibuku yang seperti penduduk-penduduk
lainnya. Fanatik terhadap Pembimbing Desa.
“Ketakutan ayah selama ini terjadi...” ucap ayah.
“Maksud ayah?” aku dan ibu kaget mendengar komentarnya.
“Melihat dari sikap penduduk terhadap Pembimbing Desa, suatu
saat pasti ada yang memanfaatkan posisi itu. Dan sekaranglah terjadinya...”
beliau memandang kami dengan wajah yang sangat tegang atau mungkin ketakutan.
-o0o-
“Ada pengumuman dari Pembimbing Desa!!” teriak tetanggaku.
Dia berlari menuju alun-alun desa.
“...demi keselamatan desa kita,” dia selesai dengan
pengumumannya.
“Apa pengumumannya?” tanyaku pada orang yang sepertinya
menyimak dari awal hingga akhir.
“Penambangan perak di sungai selatan bisa mengakibatkan
banjir besar. Jadi agar perekonomian desa kita tetap jalan, kita menambang batu
di tengah hutan.”
“Semuanya setuju?”
“Maksud kamu?” sepertinya dia marah akan pertanyaanku.
Sebuah pertnyaan yang seolah mengatakan Pembimbing Desa salah.
“Bukankah itu melanggar Perjanjian 31 B?”
“Ini pengecualian, Lendra. Jika kita tidak melakukannya,
maka perekonomian desa kita akan lumpuh!” Dia kemudian langsung meninggalkanku.
-o0o-
Sudah satu tahun mereka beraktifitas di hutan. Area
penambangan semakin luas. Dan aku sudah melihat dengan jelas seperti apa wajah
Jiko. Sang pembeli kayu. Tentunya dia membayar kepada Rahal Karda. Selebihnya
aku tidak tahu, apakah uang itu juga digunakan untuk kesejahteraan kami. Tapi
yang jelas Rahal Karda pun terlihat lebih kaya dengan rumahnya yang semakin
besar, beberapa bar, dan hewan ternak serta tunggangan yang besar.
“Aku baru tahu, ternyata tidak semua orang dari Geta adalah
orang baik, ayah.”
“Semua yang masuk ke Geta adalah orang baik dan cerdas.
Seleksinya yang mengatakan demikian. Namun setelah dia menjadi Pembimbing Desa
itulah yang dapat mengubahnya. Kamu benar, tidak semua orang dari Geta adalah
orang baik. Namun bukan berarti kita harus membenci semuanya. Lihat kelakuan
mereka, jika tidak sesuai dengan Perjanjian-perjanjian yang ada, mereka bukan
orang yang benar.”
“Semuanya sudah siap,” kata ibu. Dia memasukkan bundelan
kain yang besar, kemudian rantang ke gerobak.
Kami memutuskan untuk pindah ke desa sebelah. Hutan desa kami sudah hampir gundul. Kata ayah, pada musim hujan bulan depan kemungkinan desa ini akan terendam banjir. Ternyata sesuatu yang dikatakan untuk menghindari banjir malah membuat banjir. Tidak semua orang dari Geta adalah orang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar