Sabtu, 21 Februari 2015

Pesing

“Ton, WC kita itu sakti, lho. Belum aku kencingin saja sudah bau!” seru Umar yang baru saja keluar dari WC.

“Waw, sakti banget!” jawab Tono juga, yang sebenarnya sedang asik menonton TV di ruang tengah. Dia sebenarnya tahu, bahwa Umar menyindir seisi kos, yang mungkin satu atau beberapa dari mereka tidak menyiram WC setelah digunakan.


“Kalau kita bikin pameran, pasti rame tuh,” kata Umar lagi sambil berlalu ke kamarnya. Tono hanya menanggapi dengan terkekeh kecil.

“Ya, kalau baunya sudah muncul sebelum dipakai, berarti harus siram terlebih dahulu juga sebelum dipakai.” Hendra yang mau berangkat ke kampus, ikut menimpali.

Umar yang sudah hampir menutup penuh pintu kamarnya, dibukanya lagi untuk menengok si pembicara. Tono mengawasi mereka, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun sampai Hendra selesai memasang sepatunya, semuanya tetap terkendali. Hendra tersenyum pada Umar sesaat sebelum dia meninggalkan kos.

“Kau lihat itu?” kata Umar, dia duduk di samping Tono. “Selalu saja ngeles kalau diberi tahu. Ini sudah kucoba menegur dengan cara halus, malah begitu tanggapannya. Mau ditegur dengan cara yang lebih tegas mungkin tuh anak!”

“Yah, Mar... bagaimana pun juga kamu harus lihat dulu latar belakangnya. Apa yang membuat mereka tidak menyiram WC-nya?”

“Halah, tinggal timba air di gentong sebelah apa susahnya?”

WC mereka memang tidak dilengkapi kran, hanya ada ember di sana. Jadi jika embernya kosong, mereka menimba dari gentong atau kolam yang ada di sebelah WC.

-o0o-

“Assalamu alaikum,” ucap Tono. Dia baru pulang.

“Wa alaikum salam,” jawab Umar, Hendra, dan Amin yang sedang menonton TV.

“Pindah chanelnya, berita aja!” seru Tono bercanda.

“Sudah ganti baju dulu sana!” sahut Hendra. Tono pun berlalu.

Tidak berapa lama, setelah ganti baju, dan beberpa ritual lainnya, Tono bergabung dengan teman-temannya.

“Itu ember di WC kok tidak ada?” tanya Tono pada semuanya. Tidak ada yang menjawab. “Kamu tahu, Mar?”

“Ah, paling embernya minggat, ngembek dia. Gak dipakai juga kok, mungkin pikirnya begitu, haha...” jawab Umar.

“Bisa jadi tuh. Ember yang terabaikan dong judulnya, haha...” sahut Hendra juga.

“Kalau begitu sih ya pesing terus-terusan dong WC kita!” kata Tono lagi.

“Ah, gak ada bedanya juga kok, ada ember atau gak ada ember di sana!” bentak Umar. Semuanya akhirnya diam.

Sebenarnya memang Umar yang menyembunyikan ember itu, dengan maksud ingin memberikan pelajaran kepada mereka yang biasanya tidak meyiram WC. Biar mereka merasakan bagaimana tidak nyamannya aroma itu, dan kemudian sadar untuk menyiram WC setelah digunakan.

-o0o-

Besok paginya, Tono mengetuk pintu Umar dengan tergesa-gesa. Pintu kemudian terbuka. “Ada apa, Ton?”

“Kamu harus lihat ini!” Tono menarik Umar ke WC. Betapa terkejut Umar melihat sesuatu yang ada di dalam WC.

“Benar-benar keterlaluan mereka ini!” Umar bergegas menuju kamar anak-anak yang lain, namun Tono menahannya.

“Sudah, biar aku yang menangani ini. Sekarang kembalikan ember itu ke tempatnya. Diam dan perhatikanlah untuk satu minggu ini.”

Pagi itu juga, Umar meletakkan kembali ember di WC. Tono mengisinya penuh, serta menyiram WC yang ada sesuatunya tadi. Setiap hari selama satu minggu itu, Umar memperhatikan keadaan WC seperti yang diperintahkan Tono. Dia melihat ember selalu terisi penuh, dan tidak pernah ada bau pesing lagi.

“Jadi kamu yang biasanya mengisi ember tiap kali kosong?” tanya Umar yang mendapati Tono sedang menimba air ke WC.

“Hanya ini agar kos kita terasa nyaman, Mar.”

“Walau kamu harus menjadi budak mereka? Melayani mereka tanpa mereka bayar?”


Tono hanya tersenyum, meneruskan pekerjaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar