“Ton, WC kita itu sakti, lho. Belum aku kencingin saja sudah
bau!” seru Umar yang baru saja keluar dari WC.
“Waw, sakti banget!” jawab Tono juga, yang sebenarnya sedang
asik menonton TV di ruang tengah. Dia sebenarnya tahu, bahwa Umar menyindir
seisi kos, yang mungkin satu atau beberapa dari mereka tidak menyiram WC
setelah digunakan.
“Kalau kita bikin pameran, pasti rame tuh,” kata Umar lagi
sambil berlalu ke kamarnya. Tono hanya menanggapi dengan terkekeh kecil.
“Ya, kalau baunya sudah muncul sebelum dipakai, berarti
harus siram terlebih dahulu juga sebelum dipakai.” Hendra yang mau berangkat ke
kampus, ikut menimpali.
Umar yang sudah hampir menutup penuh pintu kamarnya,
dibukanya lagi untuk menengok si pembicara. Tono mengawasi mereka, takut
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun sampai Hendra selesai memasang
sepatunya, semuanya tetap terkendali. Hendra tersenyum pada Umar sesaat sebelum
dia meninggalkan kos.
“Kau lihat itu?” kata Umar, dia duduk di samping Tono.
“Selalu saja ngeles kalau diberi tahu. Ini sudah kucoba menegur dengan cara
halus, malah begitu tanggapannya. Mau ditegur dengan cara yang lebih tegas
mungkin tuh anak!”
“Yah, Mar... bagaimana pun juga kamu harus lihat dulu latar
belakangnya. Apa yang membuat mereka tidak menyiram WC-nya?”
“Halah, tinggal timba air di gentong sebelah apa susahnya?”
WC mereka memang tidak dilengkapi kran, hanya ada ember di
sana. Jadi jika embernya kosong, mereka menimba dari gentong atau kolam yang
ada di sebelah WC.
-o0o-
“Assalamu alaikum,” ucap Tono. Dia baru pulang.
“Wa alaikum salam,” jawab Umar, Hendra, dan Amin yang sedang
menonton TV.
“Pindah chanelnya, berita aja!” seru Tono bercanda.
“Sudah ganti baju dulu sana!” sahut Hendra. Tono pun
berlalu.
Tidak berapa lama, setelah ganti baju, dan beberpa ritual
lainnya, Tono bergabung dengan teman-temannya.
“Itu ember di WC kok tidak ada?” tanya Tono pada semuanya.
Tidak ada yang menjawab. “Kamu tahu, Mar?”
“Ah, paling embernya minggat, ngembek dia. Gak dipakai juga
kok, mungkin pikirnya begitu, haha...” jawab Umar.
“Bisa jadi tuh. Ember yang terabaikan dong judulnya,
haha...” sahut Hendra juga.
“Kalau begitu sih ya pesing terus-terusan dong WC kita!”
kata Tono lagi.
“Ah, gak ada bedanya juga kok, ada ember atau gak ada ember
di sana!” bentak Umar. Semuanya akhirnya diam.
Sebenarnya memang Umar yang menyembunyikan ember itu, dengan
maksud ingin memberikan pelajaran kepada mereka yang biasanya tidak meyiram WC.
Biar mereka merasakan bagaimana tidak nyamannya aroma itu, dan kemudian sadar
untuk menyiram WC setelah digunakan.
-o0o-
Besok paginya, Tono mengetuk pintu Umar dengan tergesa-gesa.
Pintu kemudian terbuka. “Ada apa, Ton?”
“Kamu harus lihat ini!” Tono menarik Umar ke WC. Betapa
terkejut Umar melihat sesuatu yang ada di dalam WC.
“Benar-benar keterlaluan mereka ini!” Umar bergegas menuju
kamar anak-anak yang lain, namun Tono menahannya.
“Sudah, biar aku yang menangani ini. Sekarang kembalikan
ember itu ke tempatnya. Diam dan perhatikanlah untuk satu minggu ini.”
Pagi itu juga, Umar meletakkan kembali ember di WC. Tono
mengisinya penuh, serta menyiram WC yang ada sesuatunya tadi. Setiap hari
selama satu minggu itu, Umar memperhatikan keadaan WC seperti yang
diperintahkan Tono. Dia melihat ember selalu terisi penuh, dan tidak pernah ada
bau pesing lagi.
“Jadi kamu yang biasanya mengisi ember tiap kali kosong?”
tanya Umar yang mendapati Tono sedang menimba air ke WC.
“Hanya ini agar kos kita terasa nyaman, Mar.”
“Walau kamu harus menjadi budak mereka? Melayani mereka
tanpa mereka bayar?”
Tono hanya tersenyum, meneruskan pekerjaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar