“Hayo... kamu sembunyiin apa dari aku!?” Fera yang tiba-tiba datang dan langsung mengagetkan Nisa, sontak membuat semua orang di perpustakaan memandanginya dengan sinis.
“Oops, sorry...”
ucapnya kemudian kepada semua pengunjung.
“Nyembunyiin apa sih, Ra? Sampai segitunya...” tanya Nisa,
tidak menghiraukan kelakuan temannya barusan.
“Kamu beneran ditembak Didot?”
“Iya,” jawab Nisa santai. Buku yang tadi dia baca masih
dipegangnya, namun dia fokus pada Fera.
"Tapi kamu tolak?" tanya Fera lagi.
"Iya," jawab Nisa lagi sambil tersenyum kecil.
Mendengar jawaban itu, muka Fera langsung menunjukkan betapa
disayangkannya apa yang dipilih Nisa.
“Serius kamu, Nis? Didot bintang lapangan itu kamu tolak?
Juara sekolah yang selalu berada dalam tiga besar peringkat kelas, cowok yang hanya
tersenyum saja sudah membuat cewek-cewek tidak mampu lagi untuk berdiri, cowok
yang seperti itu kamu tolak? Apa sih Nis yang sedang kamu pikirkan?” tiba-tiba
suara Fera mengeras lagi, pengunjung perpustakaan pun memandanginya lagi. “Eh,
maaf, maaf...”
“Lebay deh...” Nisa melanjutkan membaca bukunya lagi.
“Apa ini karena Samsul, Nis?” bisik Fera sambil memegang
tangan Nisa. Mendadak Nisa mengangkat wajahnya dari halaman-halaman buku yang
dibacanya. Dia memandang nanar ke depan. “Jadi kamu lebih memilih sesuatu yang
belum pasti? Apa lagi dia kan belum ada bilang apa-apa sama kamu. belum tentu
lho Nis dia itu jodoh kamu.”
“Fera sayang, memang sih kalau yang ngajak pacaran itu sudah
pasti dia suka sama kita...”
“Nah itu tau.”
“Hanya saat itu, selanjutnya gak menjamin,” ucap Nisa lagi
seraya tersenyum, matanya tertuju pada barisan teks buku yang dibacanya.
“Jadi benar kamu berharap besar pada Samsul?” Fera ingin
jawaban yang lebih pasti.
Nisa meletakkan buku yang dia pegang, kemudian menghela
nafas, lalu tersenyum pada Fera. “Jadi gini, memang benar aku suka sama Samsul.
Dia itu rohis di sekolah kita, agamanya bagus, tidak hanya teori, tapi dia
benar-benar mengamalkan apa yang dia ucapkan. Namun aku menolak Didot bukan
karena aku terlalu berharap akan bersama Samsul.”
“Apa lagi kalau bukan itu?” potong Fera dengan pandangan curiga
pada Nisa. Sekali lagi Nisa tersenyum.
“Enggak sayang... Yang jelas, pacaran itu akan membuka
peluang kepada syetan untuk menjerumuskan kita, yang paling ringan adalah malas
beribadah, atau niat ibadah yang terbelok, sedangkan yang paling berat adalah
diseretnya ke perjinahan.
Kedua, orang yang pacaran itu emosinya rentan labil. Terlalu
senang dengan pacarnya hingga lupa posisinya sebagai hamba, di saat yang lain
akan teramat sedih entah karena selingkuh, meninggal, atau perpisahan yang
lain. Kesedihan yang teramat itu juga bisa menjauhkan kita dari Tuhan lho.
Ketiga, dengan pacaran hati kita tidak perawan lagi, kita
sudah pernah mengkhususkan hati untuk seseorang yang belum pasti jodoh kita.
Kasian pasangan kita yang nanti akan bersama dalam ikatan pernikahan, kasian
dia mendapatkan hati yang tidak perawan lagi dari kita. Jadi aku menolak Didot
bukan karena Samsul, melainkan untuk diriku sendiri dan juga untuk calon
pasanganku yang nanti akan bersamaku dalam ikatan yang halal.”
“Jadi bukan karena Samsul?” ulang Fera lagi, meskipun
sebenarnya dia sudah paham dengan penjelasan Nisa.
“Bukan Fera sayang...” ucap Nisa sambil mengelus punggung
Fera. “Aku beruntung, Ra. Akhirnya Tuhan menunjukkan kepadaku bagaimana
kualitas Didot yang sebenarnya. Awalnya aku juga seperti cewek-cewek lain, Ra,
kagum sama dia. Tapi setelah dia mengajak aku pacaran, dimataku dia menjadi
sama saja seperti cowok-cowok lainnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar