Matahari senja sudah beranjak, meninggalkan bias jingga di
balik awan kelabu tipis di langit penghujung hari. Kumandang azan menggema di
desa Sajumput, Arif bersiap ke mesjid yang tidak terlalu jauh dari kosnya. Dia
baru saja selesai berwudhu di ruangan kecil tempat mereka biasa mencuci piring
dan pakaian. Begitu pula dengan Dedi, mereka melakukannya bergantian. Sedangkan
Gandhi masih asik menonton anime di salah satu stasiun tv swasta sambil
berbaring.
“Kita salat ke masjid yuk, Gan!” ajak Arif.
“Aku belum mandi, Rif. Duluan aja,” jawabnya tanpa memandang
Arif.
Arif hanya tersenyum, dia tahu betul kalau itu hanya sekedar
alasan untuk menghindar. Kalau Gandhi memang sungguh-sungguh mau salat,
harusnya sebelum azan dia sudah mandi.
“Ya sudah, tapi jangan lupa salat ya!”
Memang benar seperti yang diperkirakan Arif. Sepeninggalnya
Arif, Gandhi masih saja asik menonton anime, kadang dia beralih ke gadget-nya hanya untuk menjawab chatt yang
masuk ke messenger-nya.
Beberapa menit berlalu, Arif dan Dedi sudah kembali dari
mesjid. Perbincangan mereka terdengar sampai ke dalam kos. Gandhi tidak
mempedulikan kedatangan teman-temannya, sedikitpun tidak lagi ingat dengan
janjinya.
“Assalamu alaikum,” Arif mengucap salam. Gandhi menyahut.
Sebenarnya Arif tidak ada melihat tanda-tanda Gandhi seperti
sudah mandi atau melakukan salat, namun dia berusaha untuk membuang jauh
prasangkanya itu. Arif langsung ke kamar untuk tilawah rutinnya. Sedangkan Dedi
ikut menonton tv bersama Gandhi. Seperti biasa, di saat seperti itulah Dedi
menasehati Gandhi dengan sangat halus.
-o0o-
Sore itu Arif melintas di lapangan bola kecil di komplek kos
mereka. Gandhi ikut bermain di sana. Arif menghentikan langkahnya, terus
mengawasi pergerakan lincah Gandhi.
“Gandhi, ayo pulang. Tiga puluh menit lagi maghrib!” Teriak
Arif ketika bola yang ditendang Arif keluar dari lapangan. “Biar kamu sempat
untuk mandi dulu!”
Gandhi memandang sesaat pada Arif, lalu fokusnya kembali
lagi ke permainan. “Bentar lagi, Rif!”
Arif berlalu dengan sedikit perasaan kecewa, dia tidak mau
memaksakan. Yang penting sudah diingatkan, selalu begitu yang dia bisikkan
dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.
Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit.
Arif dan Dedi berwudu di kos, bersiap untuk salat maghrib. Gandhi baru datang, dengan
nafas yang tidak teratur dan muka penuh kemarahan, dia menghampiri Arif.
Seketika dia lepaskan seluruh tenaganya untuk mendorong bahu Arif sekuat
kekesalannya.
“Kamu jangan gitu lagi dong, Rif. Aku malu tau gak!” bentak
Gandhi, Dedi melerai.
“Eh, ada apa ini?” tanya Dedi yang terkejut melihat sikap
Gandhi yang baru datang langsung menghambur pada Arif.
“Kenapa, Gan?” tanya Arif yang juga belum mengerti akan
kemarahan Gandhi.
“Kamu gak usah sok urusin aku lagi. Kalau kamu mau salat,
salat aja sana! Sampai nyuruh orang pulang segala, kayak aku ini anak kecil
saja!” gerutu Gandhi, dia masih mencari-cari celah untuk memukul Arif,
setidaknya mendorong sekali lagi tubuh Arif, namun Dedi menengahi mereka dengan
ketat.
“Sudah, sudah! Ini sudah senja, sudah hampir magrib.
Sudahlah, Rif, tinggalkan saja Gandhi. Jangan kau ajak lagi dia ke surga!”
bentak Dedi pada Arif, seolah membela Gandhi. “Dan kamu, Gan... ingat
baik-baik, kamu beruntung di sini bertemu Arif yang prihatin dengan keimanan
kamu. Di tempat lain, belum tentu kamu menemukan teman yang dengan
sungguh-sungguh mengajak kamu untuk salat!”
Kumandang azan magrib menjadi suara latar dalam nasihat
Dedi. Gandhi tetap melotot pada Arif, namun jelas terlihat ada perubahan warna
air mukanya ketika Dedi menasihati mereka. Kemudian dia berlalu ke kamarnya
sambil menabrakkan bahunya ke bahu Arif.
“Yuk, Rif,” ajak Dedi kemudian.
Dua puluh menit berlalu, Arif dan Dedi sudah pulang ke kos.
Betapa terkejut Arif ketika melihat Gandhi yang sedang salat di kamarnya.
“Ded, Ded, lihat...” seru Arif pelan, memberitahu pada Dedi.
“Subhanallah... semoga dia istiqomah. Aamiin.” Dedi
bertasbih melihat perubahan ini. Arif pun mengamini doa Dedi.
“Rif, Ded...” panggil Gandhi. Seusai salat, dia keluar dari
kamarnya, menghampiri Arif dan Dedi yang baru saja menyalakan tv.
“Iya, kenapa, Gan?” jawab Arif.
“Ayo duduk sini,” pinta Dedi juga tidak mau ketinggalan.
“Mmm... aku mau minta maaf atas sikapku selama ini, terutama
untuk kejadian sore tadi...”
“Ah... sudah lah. Yang begituan memang wajar terjadi dalam
mengajak orang pada kebaikan, Gan. Nabi saja sampai mau dibunuh,” jawab Arif
dengan santai. Dedi tersenyum menyaksikan keakraban mereka.
“Memang benar apa kata Dedi, di tempat lain belum tentu ada
teman yang begitu peduli dengan keimananku. Aku jadi ingat dengan mamaku yang
dulu juga gigih banget mengajakku untuk salat. Sampai-sampai beliau membongkar
celengannya hanya untuk membelikanku baju koko dan sarung.” Bulir bening
mengalir perlahan dari bola mata Gandhi, itu membuat Arif dan Dedi terdiam.
Mereka sangat bingung bagaimana menanggapinya. “Terimakasih untuk nasihat
kalian selama ini. Aku sudah benar-benar sadar akan posisiku sebagai hamba.
Sudah semestinya aku taat pada semua perintah-Nya.”
Spontan Dedi memeluk Gandhi, dia juga tenggelam dalam
tangisnya. Arif yang juga terharu akan perubahan Gandhi tidak mampu membendung
air matanya, dia hanya bisa memeras bahu Gandhi, sebuah transfer energi untuk
konsistensi Gandhi di masa datang.
Salat isa malam itu pun mereka berangkat ke mesjid
bersama-sama. Saking senangnya Dedi dengan kesadaran Gandhi itu, dia mentraktir
Arif dan Gandhi makan malam. Di sana Dedi berdoa lagi untuk keistiqamahan
dirinya, Arif, dan Dedi sebelum dan sesudah mereka makan.
-o0o-
Malam itu terasa sangat dingin, membuat tidur begitu pulas
dan nyaman. Dinginnya berlanjut hingga subuh, menahan siapa saja yang sedang
meringkuk di tempat tidurnya. Namun tidak dengan Arif dan Dedi, mereka saling
membangunkan untuk salat subuh berjamaah ke mesjid. Kali ini pintu kamar Gandhi
pun diketuk Arif juga.
“Gandhi... Gan?” Ketuk Arif sambil memanggil Gandhi. Tidak ada
jawaban.
“Sudah lah, tingalkan saja, Rif. Lagian dia baru berubah,
kita perlahan saja.” Saran Dedi.
“Tapi dia sudah benar-benar paham, Ded. Kasihan dia
kehilangan satu waktu salat...” Arif meneruskan mengetuk dan memanggil, namun
masih belum ada jawaban.
“Gini saja, kita ke mesjid saja dulu, nanti setelah pulang
kita coba lagi. Waktu salat subuh belum habis kok saat kita pulang.”
Kali ini Arif setuju dengan usul Dedi. Dia akhirnya berhenti
mengetuk pintu kamar Gandhi. Namun karena ketukan terkahir Arif yang lumayan
keras, pintu kamar Gandhi yang sebenarnya tidak tertutup dengan rapat, terbuka
dengan sendirinya. Di atas kasurnya yang terhampar di lantai, Gandhi
kejang-kejang, mulutnya berbusa.
“Gandhi!” teriak Arif.
Dalam kepanikan itu, Arif dan Dedi langsung menggotong
Gandhi ke atas motor Dedi. Dedi membonceng, sedangkan Arif mengapit tubuh
Gandhi di belakang Dedi. Mereka membawanya ke UGD rumah sakit setempat. Belum
sampai ke rumah sakit, Gandhi sudah tenang, kejang-kejangnya hilang.
“Gandhi sudah tenang nih, Ded. Apa kita balik saja?” tanya
Arif.
“Sebaiknya tetap kita periksakan ke dokter. Siapa tahu
kambuh lagi,” jawab Dedi sambil terus memacu motornya.
Cukup lama mereka bertiga tidak bersuara, kemudian Dedi
berkata lagi, “Setidaknya dia sudah sadar akan posisi dirinya sebagai hamba,
dan dia pun sudah bertekad untuk berubah dan melaksanakan kewajibannya. Semoga
itu akan mengantarnya ke surga.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar