Selasa, 23 Juni 2015

Salat pertama dan terakhir Gandhi


Matahari senja sudah beranjak, meninggalkan bias jingga di balik awan kelabu tipis di langit penghujung hari. Kumandang azan menggema di desa Sajumput, Arif bersiap ke mesjid yang tidak terlalu jauh dari kosnya. Dia baru saja selesai berwudhu di ruangan kecil tempat mereka biasa mencuci piring dan pakaian. Begitu pula dengan Dedi, mereka melakukannya bergantian. Sedangkan Gandhi masih asik menonton anime di salah satu stasiun tv swasta sambil berbaring.

“Kita salat ke masjid yuk, Gan!” ajak Arif.

“Aku belum mandi, Rif. Duluan aja,” jawabnya tanpa memandang Arif.


Arif hanya tersenyum, dia tahu betul kalau itu hanya sekedar alasan untuk menghindar. Kalau Gandhi memang sungguh-sungguh mau salat, harusnya sebelum azan dia sudah mandi.

“Ya sudah, tapi jangan lupa salat ya!”

Memang benar seperti yang diperkirakan Arif. Sepeninggalnya Arif, Gandhi masih saja asik menonton anime, kadang dia beralih ke gadget-nya hanya untuk menjawab chatt yang masuk ke messenger-nya.
Beberapa menit berlalu, Arif dan Dedi sudah kembali dari mesjid. Perbincangan mereka terdengar sampai ke dalam kos. Gandhi tidak mempedulikan kedatangan teman-temannya, sedikitpun tidak lagi ingat dengan janjinya.

“Assalamu alaikum,” Arif mengucap salam. Gandhi menyahut.
Sebenarnya Arif tidak ada melihat tanda-tanda Gandhi seperti sudah mandi atau melakukan salat, namun dia berusaha untuk membuang jauh prasangkanya itu. Arif langsung ke kamar untuk tilawah rutinnya. Sedangkan Dedi ikut menonton tv bersama Gandhi. Seperti biasa, di saat seperti itulah Dedi menasehati Gandhi dengan sangat halus.

-o0o-

Sore itu Arif melintas di lapangan bola kecil di komplek kos mereka. Gandhi ikut bermain di sana. Arif menghentikan langkahnya, terus mengawasi pergerakan lincah Gandhi.

“Gandhi, ayo pulang. Tiga puluh menit lagi maghrib!” Teriak Arif ketika bola yang ditendang Arif keluar dari lapangan. “Biar kamu sempat untuk mandi dulu!”

Gandhi memandang sesaat pada Arif, lalu fokusnya kembali lagi ke permainan. “Bentar lagi, Rif!”
Arif berlalu dengan sedikit perasaan kecewa, dia tidak mau memaksakan. Yang penting sudah diingatkan, selalu begitu yang dia bisikkan dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.

Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Arif dan Dedi berwudu di kos, bersiap untuk salat maghrib. Gandhi baru datang, dengan nafas yang tidak teratur dan muka penuh kemarahan, dia menghampiri Arif. Seketika dia lepaskan seluruh tenaganya untuk mendorong bahu Arif sekuat kekesalannya.

“Kamu jangan gitu lagi dong, Rif. Aku malu tau gak!” bentak Gandhi, Dedi melerai.

“Eh, ada apa ini?” tanya Dedi yang terkejut melihat sikap Gandhi yang baru datang langsung menghambur pada Arif.

“Kenapa, Gan?” tanya Arif yang juga belum mengerti akan kemarahan Gandhi.

“Kamu gak usah sok urusin aku lagi. Kalau kamu mau salat, salat aja sana! Sampai nyuruh orang pulang segala, kayak aku ini anak kecil saja!” gerutu Gandhi, dia masih mencari-cari celah untuk memukul Arif, setidaknya mendorong sekali lagi tubuh Arif, namun Dedi menengahi mereka dengan ketat.

“Sudah, sudah! Ini sudah senja, sudah hampir magrib. Sudahlah, Rif, tinggalkan saja Gandhi. Jangan kau ajak lagi dia ke surga!” bentak Dedi pada Arif, seolah membela Gandhi. “Dan kamu, Gan... ingat baik-baik, kamu beruntung di sini bertemu Arif yang prihatin dengan keimanan kamu. Di tempat lain, belum tentu kamu menemukan teman yang dengan sungguh-sungguh mengajak kamu untuk salat!”

Kumandang azan magrib menjadi suara latar dalam nasihat Dedi. Gandhi tetap melotot pada Arif, namun jelas terlihat ada perubahan warna air mukanya ketika Dedi menasihati mereka. Kemudian dia berlalu ke kamarnya sambil menabrakkan bahunya ke bahu Arif.

“Yuk, Rif,” ajak Dedi kemudian.

Dua puluh menit berlalu, Arif dan Dedi sudah pulang ke kos. Betapa terkejut Arif ketika melihat Gandhi yang sedang salat di kamarnya.

“Ded, Ded, lihat...” seru Arif pelan, memberitahu pada Dedi.

“Subhanallah... semoga dia istiqomah. Aamiin.” Dedi bertasbih melihat perubahan ini. Arif pun mengamini doa Dedi.

“Rif, Ded...” panggil Gandhi. Seusai salat, dia keluar dari kamarnya, menghampiri Arif dan Dedi yang baru saja menyalakan tv.

“Iya, kenapa, Gan?” jawab Arif.

“Ayo duduk sini,” pinta Dedi juga tidak mau ketinggalan.

“Mmm... aku mau minta maaf atas sikapku selama ini, terutama untuk kejadian sore tadi...”

“Ah... sudah lah. Yang begituan memang wajar terjadi dalam mengajak orang pada kebaikan, Gan. Nabi saja sampai mau dibunuh,” jawab Arif dengan santai. Dedi tersenyum menyaksikan keakraban mereka.

“Memang benar apa kata Dedi, di tempat lain belum tentu ada teman yang begitu peduli dengan keimananku. Aku jadi ingat dengan mamaku yang dulu juga gigih banget mengajakku untuk salat. Sampai-sampai beliau membongkar celengannya hanya untuk membelikanku baju koko dan sarung.” Bulir bening mengalir perlahan dari bola mata Gandhi, itu membuat Arif dan Dedi terdiam. Mereka sangat bingung bagaimana menanggapinya. “Terimakasih untuk nasihat kalian selama ini. Aku sudah benar-benar sadar akan posisiku sebagai hamba. Sudah semestinya aku taat pada semua perintah-Nya.”

Spontan Dedi memeluk Gandhi, dia juga tenggelam dalam tangisnya. Arif yang juga terharu akan perubahan Gandhi tidak mampu membendung air matanya, dia hanya bisa memeras bahu Gandhi, sebuah transfer energi untuk konsistensi Gandhi di masa datang.

Salat isa malam itu pun mereka berangkat ke mesjid bersama-sama. Saking senangnya Dedi dengan kesadaran Gandhi itu, dia mentraktir Arif dan Gandhi makan malam. Di sana Dedi berdoa lagi untuk keistiqamahan dirinya, Arif, dan Dedi sebelum dan sesudah mereka makan.

-o0o-

Malam itu terasa sangat dingin, membuat tidur begitu pulas dan nyaman. Dinginnya berlanjut hingga subuh, menahan siapa saja yang sedang meringkuk di tempat tidurnya. Namun tidak dengan Arif dan Dedi, mereka saling membangunkan untuk salat subuh berjamaah ke mesjid. Kali ini pintu kamar Gandhi pun diketuk Arif juga.

“Gandhi... Gan?” Ketuk Arif sambil memanggil Gandhi. Tidak ada jawaban.

“Sudah lah, tingalkan saja, Rif. Lagian dia baru berubah, kita perlahan saja.” Saran Dedi.

“Tapi dia sudah benar-benar paham, Ded. Kasihan dia kehilangan satu waktu salat...” Arif meneruskan mengetuk dan memanggil, namun masih belum ada jawaban.

“Gini saja, kita ke mesjid saja dulu, nanti setelah pulang kita coba lagi. Waktu salat subuh belum habis kok saat kita pulang.”

Kali ini Arif setuju dengan usul Dedi. Dia akhirnya berhenti mengetuk pintu kamar Gandhi. Namun karena ketukan terkahir Arif yang lumayan keras, pintu kamar Gandhi yang sebenarnya tidak tertutup dengan rapat, terbuka dengan sendirinya. Di atas kasurnya yang terhampar di lantai, Gandhi kejang-kejang, mulutnya berbusa.

“Gandhi!” teriak Arif.

Dalam kepanikan itu, Arif dan Dedi langsung menggotong Gandhi ke atas motor Dedi. Dedi membonceng, sedangkan Arif mengapit tubuh Gandhi di belakang Dedi. Mereka membawanya ke UGD rumah sakit setempat. Belum sampai ke rumah sakit, Gandhi sudah tenang, kejang-kejangnya hilang.

“Gandhi sudah tenang nih, Ded. Apa kita balik saja?” tanya Arif.

“Sebaiknya tetap kita periksakan ke dokter. Siapa tahu kambuh lagi,” jawab Dedi sambil terus memacu motornya.

Cukup lama mereka bertiga tidak bersuara, kemudian Dedi berkata lagi, “Setidaknya dia sudah sadar akan posisi dirinya sebagai hamba, dan dia pun sudah bertekad untuk berubah dan melaksanakan kewajibannya. Semoga itu akan mengantarnya ke surga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar