Senin, 26 Oktober 2020

Surga Pribumi

November 2020.

Setelah PT. Tabuk Tanah atau yang biasa mereka sebut dengan PT. TT itu melakukan peninjauan kembali atas putusan Hakim Agung pada sidang sebelumnya, mereka pun akhirnya mendapatkan kembali izin aktivitas menambang di daerah itu. Putusan hakim tersebut membuat hati semua anggota WALHI bergolak. Keselamatan satu-satunya hutan hujan Kalimantan Selatan kini semakin terancam. Sementara orang-orang dari PT. TT, tersenyum senang.


“Dibayar berapa Anda oleh mereka!? Meskipun Anda tinggal jauh dengan mereka yang di Meratus, dampaknya akan sampai ke sini!” teriak Wawan, dia mencoba berlari ke arah hakim, namun beberapa temannya menahannya.


“Sudah lah, Wan. Kita cari cara lain lagi untuk menyelamatkannya,” ucap Dion sambil memegangi bahu Wawan, dan menarik badannya ke luar ruangan.


-o0o-


Februari 2051.

Gerimis sore ini membuat Diandra tertarik untuk bersantai di balkon luar kamar tidurnya. Segelas minuman teh hijau instan yang baru diseduhnya, diletakkannya di meja yang tertata dengan dua kursi santai di sampingnya. Diandra berdiri di pagar balkonnya sambil memandang kepulan asap yang muncul dari area pertambangan. Sejenak setelah itu, pandangannya beralih ke arah hutan kecil yang ada di tengah kompleknya.


“Diandra!” seseorang dari jalan terdengar memanggilnya dengan agak berbisik. “Diandra!”


Diandra yang merasa ada seseorang memanggilnya, mencoba mencari arah suara itu.


“Sini...” panggilnya lagi. Posisinya yang tepat berada di bawah balkon, membuat Diandra susah melihatnya. Diandra sedikit melongok, alhasil terlihatlah sedikit kepalanya.


“Tukuy,” dia menjawab dengan menyebut nama itu. Dengan gesit, Diandra memanjat turun. “Ngapain kamu?”


“Kita ke Birik yuk... ada yang mau kuceritakan sama kamu,” ajak Tukuy dengan bajunya yang lumayan basah.


Tanpa menjawab, Diandra melirik ke arah pintu rumahnya yang tertutup, kemudian mulai berlari kecil meninggalkan rumahnya.


“Ayo cepat, keburu ketahuan Abah...” seru Diandra.

- Klik untuk Order Kaos Dakwah -

Tak berapa lama, tiba lah mereka di pohon paling besar yang ada di hutan komplek itu. Semenjak beroprasinya PT. TT di sini, mereka selalu membuat program-program sosial dan kemanusiaan untuk masyarakat sekitar. Salah satu program terbesar mereka adalah pembangunan wilayah perumahan yang mereka beri nama Surga Pribumi.


Surga Pribumi adalah komplek perumahan elit yang dibangun di lereng Meratus, sebagai tempat tinggal penduduk asli yang rumah atau lahannya digunakan oleh PT. TT untuk aktivitas pertambangannya. Sebuah komplek perumahan yang sangat megah, dan aman dengan sistem satu jalan masuk dan keluar. Di tengah-tengah komplek yang luas ini, disisakan mereka lahan hutan dengan luas kurang lebih empat ratus meter persegi, sebagai tempat rekreasi penduduknya. Di dalamnya terdapat satu pohon yang paling besar, yaitu pohon Birik, tempat Diandra dan Tukuy kini bertengger.


“Jadi dengan cara bagaimana lagi tadi kamu masuk ke sini?” tanya Diandra.


Tukuy yang keluarganya sangat menolak aktivitas PT. TT, bersikukuh untuk tidak menerima apapun dari mereka. Keluarganya lebih senang hidup di gubuk sendiri, daripada harus mempertaruhkan alam demi keserakahan hati manusia. Kelompok seperti ini disebut Buhan Bukit oleh orang-orang PT. TT.


Sebenarnya Diandra sendiri tidak senang dengan PT. TT, tapi karena abahnya bekerja di sana sebagai kepala keamanan, tidak ada pilihan lain baginya.


Tukuy hanya menjawab pertanyaan Diandra dengan kekehan kecil dan pendek.


“Diandra...” ucapnya kemudian.


“Iya?”


“Kamu tau gak, katanya pohon Birik itu merupakan tempat pijakan pertama bidadari yang turun dari langit, dan ternyata satu bidadarinya sekarang ada di hadapanku,” ucap Tukuy mencoba menggombal.


“Jadi kamu ngajakin aku ke sini hujan-hujanan hanya untuk bilang itu?” sahut Diandra sewot.


“Hehe... tidak juga sih. Aku hanya sedih, dan mencoba membuang kesedihanku itu.” Kini warna muka Tukuy berubah murung.


Diandra hanya memandanginya, menunggu kalimat selanjutnya.


“Amang Udin dan anak-anaknya, besok akan pindah ke Martapura,” ucap Tukuy dengan pandangan kosong ke bawah.


Diandra tahu, Amang Udin adalah orang terdekat Tukuy, yang selama ini menyemangati Tukuy dalam memperjuangkan kelestarian Meratus bersama Buhan Bukit lainnya. Selain mereka berusaha melakukan penghijauan, tidak jarang Buhan Bukit melakukan aksi pengrusakan aset PT. TT sebagai bentuk perlawanan dan pengusiran.


“Karena longsor yang kemarin ya?” tanya Diandra dengan nada dan wajah yang penuh simpatik.


“Iya. Tidak hanya ladang mereka yang terdampak, gubuk mereka juga separuhnya hilang. Untungnya saat itu Jengge sempat terselamatkan,” jawab Tukuy yang juga memprihatinkan sepupunya yang masih balita.


“Berarti, sekarang semua paman kamu meninggalkan lereng ya?”


“Yang mereka lakukan bukanlah kesalahan. Mungkin memang kami yang terlalu bodoh. Sok-sok-an menyelamatkan dunia dengan melindungi Meratus ini. Mungkin seharusnya dari dulu kami juga meninggalkan tempat yang sudah terkutuk ini...”


-o0o-


Desember 2022.

Seseorang dengan celana pendek hitam dan baju rompi hitam khasnya, berdiri dengan kukuh di mulut goa. Tangannya yang disilangkan di dada, dagu yang terangkat, dan mata melotot, membuat semua orang yang melihatnya merinding.


“Tuan Balian Tungkaling, kami sudah mengirimkan dua ekor sapi ke gubukmu. Bukankah itu cukup untuk keperluanmu dan masyarakatmu? Sekarang menyingkirlah...” mohon seseorang dengan tulisan PT. TT di punggungnya.


Orang yang dipanggil Tuan Balian Tungkaling itu tidak bergeming. Beberapa masyarakat sekitar mengabadikan peristiwa ini dengan ponselnya masing-masing. Namun ayahnya Tukuy yang saat ini masih anak-anak, hanya bisa merekam dengan ingatannya saja.


“Bagaimana ini, pak? Kepala site sudah mendesak kita dari minggu lalu...” bisik karyawan lain pada orang pertama yang memohon tadi.


“Tuan Balian Tungkaling, kami tidak mau menyakitimu...”


Belum selesai orang itu berbicara, tangan kanan Balian itu menunjuk padanya. Matanya yang melotot pun ikut mengarah padanya juga. Situasi semakin mencekam.


“Kuingatkan kalian, kalau goa ini ikut kalian ratakan dengan tanah, dan kalian terus mengeruk Meratus, tunggulah petaka besar untuk anak cucu kalian!” teriaknya dengan bahasa setempat. Suaranya yang menggelegar, diakhiri dengan datangnya kerumunan kelalawar dari dalam goa dengan jumlah yang sangat banyak, sampai-sampai Tuan Balian Tungkaling tidak lagi terlihat. Sehabisnya kelalawar itu terbang, Tuan Balian Tungkaling tidak ada lagi di tempatnya.


Semuanya berbisik heboh, bisikan itu kemudian berubah menjadi wajah pucat setelah dentuman keras yang merobohkan goa itu terdengar.


-o0o-


“Apa yang kamu lakukan benar, Tukuy,” Diandra berusaha menenangkan Tukuy, “Kalian tidak salah. Bahkan bencana alam di daerah lain meningkat drastis dari tahun-tahun sebelumnya...”


“Hei!” Seseorang dengan baju keamanan PT. TT, berteriak ke arah mereka.


Tukuy yang melihatnya langsung berdiri, mencari jalan untuk kabur, namun dia berada di dahan pohon. Tidak ada jalan.


“Cepat turun sini!”


Tukuy dan Diandra pun turun. Rekan satunya memborgol Tukuy.


“Aduh... Diandra... kok masih berteman dengan anak ini sih. Kalau bapak tau gimana...” ucap orang yang pertama meneriaki tadi. Diandra hanya tersenyum kecut. Abah Diandra memang menangani semua sektor keamanan, dari keamanan perumahan, sampai pengawal pribadi Koh Ceng, atasan tertinggi mereka.


“Ayo cepat jalan, ikut ke kantor!” orang yang memborgol Tukuy, kemudian mendorongnya untuk mulai berjalan.


“Tukuy!” panggil Diandra saat Tukuy dan tim keamanan komplek itu hendak mulai melangkah, “Mungkin benar Birik adalah pijakan pertama bidadari saat mereka turun. Namun Birik juga satu-satunya pohon yang tidak rusak meski dipijak oleh Macan Halimaung.”


“Hus! Jangan ngomongin macan jadi-jadian itu di sini, mbak!” tegur salah satu orang keamanan itu.


Diandra tersenyum optimis, tak menghiraukan teguran orang itu. Mereka pun kemudian melanjutkan ke kantor pengamanan.


-o0o-


“Harus berapa kali Abah mengatakannya pada kamu!?” makan malam kali ini, sekaligus menjadi persidangan keluarga. Diandra yang sedang disidang, menyuap makan malam sekedarnya. “Kamu tidak takut kalau-kalau nanti diculiknya?”


“Sudah Abah... Sebaiknya kita makan saja dulu,” ibu berusaha untuk meredamkan suasana panas di meja makan.


“Bu, anakmu ini sudah bukan yang kedua atau ketiga kali melakukannya. Tapi ini sudah yang kesekian dan kesekian kalinya dia melakukannya. Apa kamu tidak khawatir?” ibu pun kini turut disemprot.


“Iya, lanjutin setelah makan. Atau ayamnya mau kusimpan?” Ibu tak kalah melotot, ayam goreng di piring abah ditunjuknya.


“Selalu aja gitu Ibu ini...” abah tak berkutik, ia pun diam dan khusyuk dengan makanannya.


Diandra tersenyum pada ibu, mulutnya menggerakkan kalimat, “makasih Ibu.” Ibunya membalas senyumannya, kemudian ikut duduk untuk makan.


Belum selesai abah dengan makanannya, ponselnya berbunyi, ada panggilan. Abah mengambil ponsel itu, melihat nama kontak yang tertera di sana.


“Tukacil? Ada apa malam-malam seperti ini menelpon?” sejurus kemudian, panggilan itu diterima abah, “Kenapa, bro?


“Gawat pak, banyak ular besar berdatangan ke komplek. Kantor kita juga didatanginya...”


Sayup-sayup Diandra mendengar laporan dari salah satu bawahan abah itu.


“Halah kamu ini, kayak bukan orang militer aja...”


“Abah!!!” teriakan Diandra menghentikan kalimat Abah. Tangan Diandra mengarah ke belakang abah.


Abah mengikuti arah telunjuk Diandra, mencari tahu sebab teriakan itu. Dari jendela rumah mereka yang masih terbuka, masuk dua ekor ular seukuran botol soda satu liter dengan badan berwarna hijau muda, dan bagian ekor hitam dengan garis putih lurus dari kepala hingga ujung ekor.


Abah yang kaget langsung berdiri, sambil menenangkan diri, dia bergerak ke lemari yang tidak jauh dari meja makannya. Di sana dia mengambil senapan jenis lever-action. Dia membidik salah satu ular itu, tidak lama kemudian, satu peluru bersarang di kepala ular itu. Tinggal satu ular, lagi.


“Bu, siapkan garam untuk ditabur di sekitar rumah!” perintahnya diakhiri dengan suara tembakan kedua, yang sekaligus membuat ular terakhir tidak bisa bergerak lagi.


Ibu membagikan garam yang diambilnya kepada Diandra. Sambil menabur garam, mereka memastikan tidak ada celah lagi untuk ular masuk.


“Bu, aku harus bergegas ke kantor. Sepertinya laporan Tukacil ini bukan masalah kecil.”


Ibu hanya mengangguk dengan wajah yang masih tegang.


-o0o-


“Bagaimana kondisinya?” tanya Norman, abahnya Diandra. Pandangannya kemudian tertuju pada Tukuy yang masih terborgol di sudut ruangan. “Oh, masih di sini kamu.”


“Koh Ceng sudah menghubungi tim penanganan hama melata dari luar daerah, mungkin sekitar empat jam lagi mereka sampai,” jawab Tukacil.


“Huh, dasar bodoh! Jelas-jelas kedatangan mereka karena ulah kalian juga. Hutan penyumbang oksigen terbesar ini kalian rusak, iklim tidak stabil lagi. Ya jelas lah ular-ular itu bermigrasi. Mencari tempat baru yang lebih nyaman!” teriak Tukuy.


Dengan cepat Norman mendatangi pemuda itu, dicengkramnya kedua pipi Tukuy dengan tangan kanannya.


“Dengar anak muda, kalau kau masih mengganggu anakku, kupastikan kau dan ayahmu tidak akan punya tempat tinggal lagi di sini!” ucapnya dengan agak menggeram. “Sudah, lepaskan saja dia. Biarkan dia dimakan oleh ular-ular itu.”


Sepeninggalnya Tukuy, Norman dan teman-temannya berkeliling komplek untuk membantu masyarakat mengusir ular dari rumahnya. Sepanjang jalan, dinding bangunan, bahkan tiang lampu jalan, tampak ular yang sama dengan yang ditemui Norman di rumahnya. Sepertinya ular-ular ini hanya mampu dimusnahkan oleh tongkatnya nabi Musa.


-o0o-


Matahari mulai meringkuk, kelar dari balik pegunungan. Norman menuju rumah istirahat Koh Ceng yang tidak jauh dari Surga Pribumi. Helikopternya yang mengangkut tim penanganan hama melata baru saja tiba.


“Wah, wah... rumah Kokoh juga diserang ya?” komentar Norman yang melihat setumpuk ular sudah tidak bernyawa lagi di salah satu sudut ruangan.


Elaphe Taeniura Ridleyi. Mereka adalah salah satu jenis ular goa,” ucap seorang pria berbadan kekar, dengan rompi coklat dengan gambar siluet ular di dada kanannya. “Sepertinya mereka mulai mencari sarang baru karena perubahan iklim yang drastis belakangan ini.”


Mendengar itu, Norman teringat dengan perkatan Tukuy di kantornya.


“Oh, terimakasih sudah datang Norman. Perkenalkan, ini Jeff, ahli hama kita. Jeff, ini Norman, kepala keamanan yang akan mengawal kalian selama bertugas,” Koh Ceng yang baru keluar dari kamarnya, langsung memperkenalkan satu sama lain.


“Sebaiknya kita segera bergegas,” ajak Norman kemudian.


Ajakan Norman itu ditanggapi ketiga orang anggota tim penanganan hama itu dengan menyiapkan alat-alat mereka. Sungguh di luar dugaan Norman, peralatannya lebih mirip alat perang ketimbang penangkap ular. Taser gun, shoot gun, penyemprot api, bahkan juga beberapa dinamit.


“Norman,” panggil Koh Ceng, “Dampingi mereka ke semua goa yang kamu ketahui dalam radius lima kilometer dari sini.”


Mendengar instruksi itu, membuat jantung Norman berdegup cukup cepat. Ada rasa marah yang tiba-tiba muncul di sana. Norman tahu untuk apa dinamit-dinamit itu.


“Tapi sebaiknya, kita musnahkan saja dulu ular-ular yang ada di Surga Pribumi, Koh. Ularnya masih banyak, Tukacil dan teman-temannya kewalahan,” saran Norman. Koh Ceng hanya mengangguk sekedarnya, sambil mengibaskan tangannya sebagai tanda mempersilakan, dan kemudian dia berpaling.


Benar saja, di Surga Pribumi ini, ketiga orang penanganan hama itu bekerja dengan membabi buta. Mereka bukan menangkap, tapi membunuh setiap ular yang mereka temui. Melihat hal ini, tanpa sepengetahuan orang-orang itu, Norman menginstruksikan anak buahnya untuk membuang tas yang berisi banyak dinamit itu.


Kurang lebih sembilan puluh menit, tidak tampak lagi ada ular yang merayap. Sejauh mata memandang, jalanan dipenuhi dengan jasad ular-ular itu. Dari yang gosong, sampai hancur lebur.


“Sepertinya kalian perlu dozer untuk membersihkan ini,” ucap Jeff dingin, seraya mengelap ujung penyemprot apinya. “Tim! Mana dinamit kita?”


Kedua temannya kaget mendengar pertanyaan bosnya, mereka kemudian saling pandang. Jeff yang tidak mendapat respon dari anak buahnya, langsung memandang marah pada Norman. Namun Norman hanya mengangkat bahunya.


-o0o-


18.45 WITA

BRAKKK!


Buku besar yang sedari tadi dipegang Koh Ceng kemudian dibanting ke atas mejanya. Di depan meja itu duduk Jeff dan Norman yang sama-sama memasang muka marah.


“Ketika kamu berurusan dengan ular goa, maka kau akan berurusan dengan kelalawar!” bentak Koh Ceng.


“Tidak, jika kita tidak membasmi mereka semuanya, jumlah kelalawar tetap akan seimbang,” jawab Norman. Jeff terkekeh di sebelah sana.


“Kau pungut dimana orang bodoh ini, Koh? Dengar pak, justru ketika kau hanya membunuh sebagian besar ular, maka hanya sedikit ular goa yang membunuh para kelalawar. Karenanya kita mengambil jalan efektif dengan langsung meledakkan sarang dari kedua makhluk itu!” semakin ke ujung kalimat, suara Jeff semakin nyaring. Koh Ceng diam memandanginya.


“Jangan pernah lagi berteriak di ruanganku,” ucap Koh Ceng, mendekatkan wajahnya ke wajah Jeff.


Di tengah-tengah perdebatan mereka, sayup-sayup terdengar suara yang tak biasa dari luar jendela. Cahaya lampu dari luar juga tidak terlihat. Koh Ceng perlahan mendekati jendela. Hingga saat tiba di depan jendela, dia dikejutkan dengan seekor kelalawar yang tiba-tiba menabrak jendelanya. Setelah jendela itu dibukanya, sungguh kaget Koh Ceng melihat kondisi di luar sana. Langit ditutupi oleh ribuan kelalawar yang beterbangan.


-o0o-


“Lihatlah ulah kalian! Alam berantakan oleh ulah kalian!” bentak Tukuy pada Norman yang masih berada dalam mobil, di menunggu gerbang Surga Pribumi dibuka oleh penjaga.


Norman hanya diam. Palang pintu gerbang tak juga terangkat, tiga penumpang lainnya bergegas turun dengan penyemprot apinya masing-masing.


“Hei, apa lagi ini!?” Tukuy berusaha menahan salah satu dari mereka. Dengan hentakan ringan tangan orang itu, Tukuy terjatuh.


“Sepertinya aku mulai berpihak padamu, nak,” Norman keluar dari mobilnya, dan membantu Tukuy untuk berdiri. “Aku sudah terlalu lama meninggalkan nasehat para orang tua kita zaman dulu...”


Kini mereka hanya bisa memandangi tarian api dari ketiga penjahat itu. Puluhan kelalawar rontok oleh semburan si merah. Beberapa dinding rumah megah di Surga Pribumi, mau tidak mau gosong dibuatnya.


“Erghhh...!” salah satu dari mereka terdengar mengerang. Dia roboh.


“Sam!” teriak temannya yang bergegas menghampiri.


Tampak badan temannya itu membiru, dan sudah meregang nyawa. Norman dan Tukuy ikut menghampiri, melihat kondisi itu mereka saling berpandangan. Mereka tau betul ini apa.


“Hei, ada apa di sana?” teriak Jeff dari kejauhan. Sekilas Tukuy melihat sebersit bayangan yang terbang dengan cepat ke arah Jeff. “Argh...!”


Seketika itu juga, Jeff ikut tumbang. Norman dan Tukuy kemudian bergegas memeriksa kondisinya. Kondisi yang sama seperti rekannya. Jeff sudah tak bernyawa lagi dengan tubuh yang juga membiru.


“Macan Halimaung...” bisik Tukuy. “Pak, aku butuh terasi, bisa kau ambilkan?”


Norman bergegas menuju rumah terdekat, tidak lama kemudian, dia kembali dengan beberapa terasi di tangannya. Segera dia berikan pada Tukuy.


Dengan cepat, Tukuy letakkan terasi-terasi itu di jalan, lalu dengan penyemprot api-nya Jeff, dia semburkan api ke arah tumpukan terasi itu.


“Terasi bakar. Apa yang kau masak? Bagikan padaku...?” tampak di salah satu dahan pohon, bertengger sosok dengan rompi motif harimau. Suaranya yang menggelegar, membuat hati siapa saja ciut mendengarnya.


“Kenapa kau ikut datang ke sini, Macan Halimaung? Apakah kau akan membunuh kami semua?” tanya Tukuy memberanikan diri.


“Siang tadi, ratu ular datang melapor padaku atas ulah kalian. Kemudian, baru saja raja kelalawar yang datang padaku, katanya manusia sudah pada gila. Pohon-pohon ditebang, gunung-gunung dicabut, bahkan rakyatnya dibunuh dengan dibakar. Aku akan menghabisi siapa saja yang ada di sini!” geramnya.


“Tunggu, Macan Halimaung... tidak semuanya begitu...” Norman mencoba untuk bernegosiasi, namun kalimatnya langsung dipotong oleh Macan Halimaung.


“Kalian semua sama!” tiba-tiba dia melompat terbang dan menghilang, dahan yang bar saja dipijaknya, patah dan jatuh ke tanah. Namun, tiba-tiba suaranya terdengar lagi, “Kuberi kalian kesempatan. Hentikan semua kegilaan kalian di bumi Meratus, perbaiki hutan ini, dan aku tak akan mengganggu orang yang tidak mengganggu alamku!”


[Naskah ini masuk ke dalam 49 nominasi Naskah Lomba Cerpen "Sastra Hijau" di Milad FLP ke-23. Namun, hanya 25 naskah terpilih yang ikut dibukukan ke dalam antologi cerpennya yang berjudul Tot Zien, Rembang]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar