Senin, 07 Desember 2020

Pengorbanan


 Keadaan yang begitu-begitu saja, membuat para binatang penghuni hutan Kalimantan merasa bosan. Hal itu juga yang dirasakan oleh Jukjuk -si monyet, dan Panangkup -sang kura-kura. Di tepian tebing mereka bersantai, merenungkan hal yang sama. Hingga akhirnya Jukjuk membuka pembicaraan.


“Kup, kita nanem pisang kuy...”


“Halah... klise. Dari semua perpustakaan, postingan, twit, podcast, dan sumber-sumber lainnya mengatakan, jika seekor monyet ngajak nanam pisang, pasti ujung-ujungnya mau memonopoli!” bentak Panangkup.

Melihat hal itu, Jukjuk paham. “Tenang... aku yang beliin tunasnya. Gimana?”


Nafas Panangkup masih tersengal sehabis makiannya tadi, mendengar ucapan Jukjuk, mata Panangkup melotot. “Apa!? Jadi kamu pikir aku serendah itu?”


“Mau gak” tanya Jukjuk lagi, gak peduli dengan omelan teman sepermainannya sedari kecil.


“Yuk. Beli tunasnya di Amang Gumbili ya. Tagline tokonya kan ‘selalu beri bibit terbaik.’” Ucap Panangkup sambil berjalan membelakangi tebing. Jukjuk pun ikut berjalan di sampingnya.


-o0o-


Setelah menyeberangi beberapa sungai, serta menaiki gundukan-gundukan bukit kecil, sampai lah mereka di toko pertanian Amang Gumbili. Seekor bekantan yang aktif di dunia pertanian dan perkebunan. Konon, julukan Gumbili didapatnya karena hidungnya yang besar seperti bongkah ubi.


“Yo, yo... jangan bilang kalian ke sini untuk mencari bibit pisang, lalu menanam bersama... karena Amang Gumbili Selalu Beri Bibit Terbaik...” celoteh bekantan itu bak mesin otomatis penyapa tamu.


“Keluarkan saja barangnya, kami bayar, dan kami pergi,” jawab Panangkup dingin.


Amang Gumbili diam sesaat, memandangi kura-kura kecil itu. “Apapun maumu, kura-kura kecil,” ucapnya kemudian sambil menyerahkan dua tunas pisang.


Jukjuk memindai QR code di meja Amang Gumbili. Pembayaran digital.


Amang Gumbili kemudian mengeluarkan linggis besar, diletakkannya di meja. “Bonus untuk kura-kura yang membeli tunas pisang bersama seekor monyet.”


Panangkup terdiam sejenak. Dia memandang bingung pada Amang Gumbili.


“Kau tidak lupa alur ceritanya kan?” bisik Amang Gumbili.


Panangkup kemudian mengambil bonus itu, tanpa memperdulikan apa maksud bekantan besar tersebut.

“Ayo, Juk, kita berkebun,” ajak Panangkup pada Jukjuk.


Jukjuk dan Panangkup tiba di pekarangan belakang rumah mereka. Jukjuk menenteng cangkul di tangan kanannya, dua tunas pisang di tangan kirinya.


“Mari bekerja...” bisik Jukjuk sok keren.


Mereka kemudian mulai menggali, dan menanam tunas pisangnya masing-masing. Tidak perlu waktu lama bagi mereka. Kini tunas itu sudah tertanam.


Waktu berjalan dengan begitu cepat. Pohon pisang mereka sudah mulai tinggi. Hingga suatu hari, tandan pisang hijau mulai muncul. Jukjuk keluar dari rumahnya dengan sumringah.


“Kup, Kup! Pisangku sudah berbuah!” seru Jukjuk.


“Iya sih berbuah. Tapi kan belum matang, Jukjuk...”


Tanpa menghiraukan perkataan Panangkup, Jukjuk tetap memanjat pohon pisangnya. Buah pisang yang masih hijau itu dimakannya dengan lahap, hingga tak bersisa lagi.


“Kok dihabisin, Juk? Kamu gak bisa menikmati pisang yang matang dong...” 


“Ah, nanti kan bisa minta punyamu. Hehe...”


Mendengar itu, Panangkup hanya menghela nafas, kemudian dia kembali masuk ke dalam rumah.

-o0o-


Waktunya pisang Panangkup matang telah tiba. Dia bergegas ke pohon pisangnya dengan membawa lanjung kecil di punggungnya.


Panangkup berusaha menaiki pohonnya. Namun apa daya, dia hanyalah seekor kura-kura yang tidak memiliki kemampuan memanjat, bahkan hanya untuk sebatang pohon pisang. Berkali-kali badannya terjatuh ke tanah. Meski suara jatuhnya tak begitu nyaring, namun berhasil menarik perhatian Jukjuk.


“Ada apa Panangkup? Pagi-pagi kok sudah ribut... haha...”


Mendengar pertanyaan Jukjuk, Panangkup hanya manyun. Sebab dia tahu bahwa Jukjuk tahu betul akan situasi saat ini.


“Haha... iya, iya, maaf. Kubantu ya...” Jukjuk menawarkan diri.


Panangkup menyerahkan lanjung-nya, dan memperhatikan Jukjuk dengan lincahnya memanjat. Tak berapa lama, sampai lah Jukjuk di puncak pohon pisang.


Jukjuk memetik satu pisang, kemudian dimakannya sendiri. Panangkup diam saja, dia pikir Jukjuk pantas mendapatkannya karena dia sudah bersedia membantu. Jukjuk mengambil pisang kedua, dan ternyata dimakannya lagi.


“Kok kamu makan semua, Juk?” teriak Panangkup mulai merasa ada yang tidak beres.


“Semua? Baru dua kok, kamu bilang semua!” teriak Jukjuk tidak terima dibilang seperti itu oleh temannya. Dia memetik lagi pisang ketiga, dan dimakannya lagi.


“Lempar sini dong... Satu aja gak papa deh,” pinta Panangkup dengan memelas, sudah lelah marah-marah.


“Tuh, makan sana. Hahaha...” tawa Jukjuk yang melempar kulit pisang pada Panangkup.


“Yah, kulitnya juga gak papa deh...” sungut Panangkup sambil menjilati kulit pisang tersebut.


Sepuluh menit kemudian, Jukjuk turun. Lanjung yang dibawanya penuh dengan kulit pisang.


“Ah... enak sekaleee. Grrrhhaa....” ucap Jukjuk yang diikuti dengan sendawanya yang besar.


Panangkup hanya melipat mukanya. Kesal, jengkel, sedih, merana.


“Aduh... perut dan kepalaku sakit eh, Kup...” Jukjuk meringis sambil menekan kepalanya.


“Hah, apa yang terjadi padamu?” tanya Panangkup pura-pura prihatin.


“Gak tau juga nih...”


“Sebaiknya kamu ke rumahku aja. Berbaring di ayunan sana. Aku tidurkan kamu dalam ayunan sambil kunyanyiin. Siapa tau nanti sakit kepala dan perutnya hilang...” saran Panangkup. Jukjuk hanya mengangguk.


Jukjuk kini berbaring dalam ayunan Panangkup, yang dibuat dari kain tapih yang diikat dengan tali panjang ke kuda-kuda rumah Panangkup.


Sambil mengayun Jukjuk yang terbaring dalam ayunan, Panangkup melantunkan sebuah syair...


“Katutut di bawah paring, kalihatan ditating ruas, ayun apan yun yun nana, ayun apan yun nana. Takajut piragah garing, kaingatan si ading bungas...”


Sambil menidurkan, mengayun, dan menyanyikan syair untuk Jukjuk, Panangkup masih merasa kesal dengan Jukjuk. Otaknya berpikir keras untuk membalas perbuatan si monyet culas itu.


“...ayun apan yun yun nana, ayun apan yun nana...” Panangkup meneruskan syairnya, hingga tiba-tiba matanya tertuju pada linggis besar yang tempo hari diberikan oleh Amang Gumbili padanya.


“Kau tidak lupa alur ceritanya kan?” Kalimat terakhir dari Amang Gumbili itu tiba-tiba bergema di kepalanya.


Dengan perlahan, Panangkup menghampiri linggis besar itu. Dibawanya menuju ayunan tempat Jukjuk beristirahat. Mata Panangkup tak berpindah dari perut Jukjuk.


“Isi perutmu itu, Juk... harusnya adalah untukku...” bisik Panangkup sambil mencengkeram linggis di tangannya.


Entah kenapa, Panangkup kemudian memperhatikan muka Jukjuk. Panangkup yang tadinya marah, kini menjadi takut, khawatir, dan iba.


Bagian muka Jukjuk yang tidak ditumbuhi bulu, terlihat agak kebiruan, keringat juga membasahi seluruh wajahnya.


“Apa ini...? Apa ini...?” ucap Panangkup panik. “Jangan-jangan ini...”


Panangkup langsung berlari keluar. Tentu saja kalian tau kan bagaimana larinya seekor kura-kura? Sudah lah, tidak perlu dipermasalahkan seperti bagaimana tadi dia mencengkeram linggis. Panangkup berlari menuju rumah Mura, seekor ular tua penghuni hutan, yang katanya tau betul tentang segala racun.



-o0o-


13 bulan yang lalu...

“Ini racun yang akan membuat semua kura-kura binasa. Suntikkan ini ke pisang-pisang miliknya, pastikan dia memakannya, dan tugasmu selesai,” ucap seekor monyet dengan jubah hitam di punggungnya, sambil menyerahkan sebuah botol kecil berisi cairan ungu pada Jukjuk.


"Jangan harap aku mau melakukannya!" jawab Jukjuk mantap.


"Hahaha... Dasar warik bodoh... Setelah racun itu masuk ke buahnya, buah itu tidak boleh terkena daratan. Sebab jika itu terjadi, maka satu buahnya akan menghasilkan ledakan yang bisa membuat lingkaran selebar tujuh meter di tanah."


“Ya kalau aku tidak menyuntikkannya kan berarti tidak masalah...” dengan santainya Jukjuk menjawab.


“Kau ini... sepanjang masa kaum kita dianggap makhluk jahat karena propaganda cerita kura-kura. Ini lah kesempatan emas bagimu untuk memusnahkan kaum mereka selamanya di muka bumi. SELAMANYA!


Jukjuk masih diam. Namun, jika dia tidak mengambil ramuan itu, Sang Raja Warik pasti akan mencari orang lain untuk melakukannya.

“Baiklah...” ucap Jukjuk singkat. Dia langsung menyambar botol itu dari tangan Sang Raja Warik, dan kemudian pulang.


“Ikuti dia...” ucap Sang Raja Warik pada pengawalnya. Instingnya mengatakan Jukjuk tidak akan melakukan tugas tersebut.


-o0o-


Di hari Panangkup hendak memanen pisangnya... (Epilog)

Di atas tempat tidurnya, Jukjuk memandangi botol racun dari Sang Raja Warik yang masih terisi penuh. Meskipun dia tidak menjalankan tugasnya, entah kenapa dia merasa ada yang tidak beres.


Jukjuk kemudian menemui Panangkup yang sedari tadi bersusah payah menaiki pohon pisang. Hingga kemudian dia membantu Panangkup, dan kini dia berada dekat sekali dengan pisang-pisangnya Panangkup.


Jukjuk mengambil satu pisang, mencari tahu apakah pisang ini aman atau tidak. Jukjuk mulai membuka kulitnya, dan benar saja... hidung seekor monyet pasti bisa menangkap bau dari racun ini.


“Gawat... Panangkup tidak boleh memakan ini... aku juga tidak bisa membuangnya. Bisa-bisa hutan ini akan hancur. Aku harus memakannya.” [Terinspirasi dari cerita rakyat Kalimantan Selatan yang dulu sering diceritakan oleh nenek saya. Entah apa judulnya, namun yang jelas, cerita ini aslinya berakhir tragis]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar