Selasa, 08 Desember 2020

Golput by Accident

 Setelah hari ini tangan saya bersih dari tinta pemilu, akhirnya saya tahu salah satu alasan mengapa orang-orang yang tidak memilih (mengikuti pemilu) disebut golongan putih atau golput. Sebab kuku jari mereka tetap putih, tidak terkena tinta bukti telah mencoblos. Kecuali dia pake kutek, cat kuku, daun pacar, atau buruk kukuan.



Bagi kalian yang mengenal saya, pasti tidak percaya, atau setidaknya bertanya-tanya, “kok bisa?”


Kisah ini berawal dari KTP saya yang alamatnya beda kelurahan dengan tempat tinggal kami. Sebenarnya sudah beberapa minggu sebelum hari H pencoblosan, saya berniat mau memperbaharui data KTP dan KK kami. Namun karena trauma masa lalu, dimana saya pernah mengalami pelayanan yang “ya kalian tau lah...” akhirnya sampai sekitar H-3 pencoblosan, KTP dan KK kami belum juga diperbaharui. Pada hari itu, kebetulan seorang “berkedudukan” di sekitar rumah kami mengajak untuk kerja bakti mempersiapkan TPS di sekitar komplek.


Meliahat ada kesempatan, saya pun bertanya, “Pak, KTP saya alamatnya di kelurahan ini, apa bisa saya mencoblos di komplek sini saja?”

“Oh, bisa pak. Nanti datang saja sekitar jam 12-13. dengan catatan surat suara masih tersedia.” jawab beliau di grup whatsapp.


Meskipun terdengar agak sedikit mengkhawatirkan, setidaknya ada harapan.


Pada hari H pencoblosan, pagi-pagi sekali, bapak yang sama memberi informasi terbaru di grup. Bahwa:


Bagi warga yang ber KTP alamat sudah Banjarbaru atau wilayah Kalimantan Selatan, tapi tidak dapat undangan pencoblosan, nanti bisa aja datang ke TPS 12 di lapangan voli untuk ikut mencoblos menggunakan hak suara dengan syarat :
1.) Bawa e-KTP ASLI
2.) Dari jam 12.00 - 13.00
3.) Masih ada ketersediaannya kertas surat suara


Membaca informasi itu, saya pun menjadi lebih tenang.


Pada hari itu kebetulan saya mendapat shift kerja pagi, jadi saya janjian dengan teman satu shift, bahwa nanti sekitar jam 11.30 saya akan keluar, mengambil hak suara saya untuk memilih pemimpin provinsi dan kota yang saya percaya, yang saya anggap terbaik.


Sebelum ke TPS, saya ke rumah dulu untuk menjemput istri dan anak. Karena tidak ada siapa-siapa lagi di rumah yang bisa menjaga anak kami yang masih berusia 3 tahun. Ditinggal tidak mungkin. Kami pun berangkat ke TPS, dengan peralatan dan perlengkapan seperti yang sudah diberitahukan, masker, pulpen sendiri, dan lain-lain. Pada hari itu kami bertarung lagi dengan anak kami yang masih susah untuk diminta pakai masker. Namun dengan perjuangan, akhirnya bisa.


Setibanya di TPS, kami disambut oleh petugas yang memindai suhu tubuh kami. Bapak-bapak ramah yang juga dengan pelindung diri lengkap. Setelah suhu tubuh kami dipindai, beliau meminta kami untuk mencuci tangan di tempat yang sudah disediakan. Kemudian beliau mempersilakan saya untuk masuk. Istri dan anak saya diminta menunggu di luar, karena anak kecil tidak diperkenankan masuk.


Ada undangannya, pak?” tanya petugas di balik meja.


Tidak ada, mbak,” jawab saya.


Oh sini KTP bapak...” pinta petugas itu kemudian. Saya pun menyerahkan KTP saya. Petugas itu kemudian mengecek beberapa lembar kertas yang saya tidak tahu apa itu. Mungkin undangan pemilihan. Sebab belakangan saya ketahui, bahwa ternyata panitia pemungutan suara ada menginformasikan di grup, untuk warga yang masih belum mendapat undangan diharap untuk mengambil sendiri di TPS sehari sebelum hari H.


Selain saya, ada juga warga dengan KTP luar kota -namun masih satu provinsi- yang mau memilih di TPS itu. Kata petugasnya bisa, namun hanya memilih gubernur, tidak ikut serta memilih walikota.


Tidak lama kemudian, petugas itu berkata, “Di sini tidak ada nama bapak.”


Mendengar itu tiba-tiba perasaanku tidak enak. “Terus gimana ini, mbak?”


Bapak di alamat yang tertera di KTP itu ada mendapat undangannya?” tanya ketua KPPS di sana.


Salahnya saya di sini. Sebenarnya saya tidak tahu pasti undangan kami ada atau tidak, namun kujawab dengan pasti, “Iya ada.”


Berarti pian harus memilih di sana, pak...” jawab petugas itu dengan ramah, ditambah dengan penjelasan-penjelasan lainnya, namun kupotong dengan pembelaanku.


Saya dari kemarin sudah bertanya, bu. Namun dari beliau tidak ada informasi mengenai surat A5, permohonan pemindahan TPS, dan lain-lain. Beliau bilang cukup bawa KTP saja...” dan kalimat-kalimat lain yang memang seperti itu adanya.


Karena rumah kami lumayan jauh dengan TPS alamat KTP (jarak tempuh sekitar 20 menitan), saya sudah mempersiapkan memang terkait hal ini. Apa saja yang harus kami penuhi jika mau memilih di TPS terdekat -selain memperbaharui data KTP. Dan seperti informasi yang kami dapatkan, cukup dengan KTP asli.


Karena memang sudah begitu peraturan mereka, oke lah. Saya keluar dari TPS tersebut. Lalu kuminta istriku untuk menelpon mama. Untuk memastikan apakah memang ada undangan kami diterimakan oleh beliau. Karena alamat sebelumnya memang masih di alamat mama mertua.


Mengejutkan, ternyata beliau tidak ada menerimakan undangan kami. Dalam benakku, berarti kami bisa memilih di TPS komplek. Kami pun kembali ke TPS tersebut.


Apes memang, namanya sudah takdir, karena tadi saya menjawab “Ya undangannya ada,” jawabanku itu sudah 'dikunci' oleh mereka. Logikakan saja, ketika pihak mereka bilang 'jika undangannya memang tidak ada, bisa mencoblos di sini,' kemudian saya datang ke mereka lagi dengan bilang 'undangannya ternyata tidak ada,' ya tidak ada bedanya dengan membohongi anak kecil.


Namun saya paham kondisi itu, tapi saya juga tidak berbohong. Sampai akhirnya mereka mengecek di laman resmi data pemilih. Ternyata nama kami memang tercatat di TPS alamat KTP kami.


Sehingga kami memang tidak bisa memilih di TPS tersebut. Data alasan mereka lengkap, saya memang tidak bisa mencoblos di sana. Namun yang sangat amat saya sayangkan adalah, kenapa informasinya bisa berbeda seperti itu. Pagi tadi -belum sampai 24 jam- diinformasikan bisa memilih dengan KTP asli. Tidak ada keterangang-keterangan tambahan lain.


Dengan semangat yang masih tersisa, kami pun berangkat menuju ke TPS yang seharusnya kami datangi sejak awal. Tadi saya berangkat dari kantor sekitar jam 11.40. Setelah merayu anak kami untuk mau pakai masker, lobi ini itu dan lain sebagainya, saya tidak tahu lagi itu sudah jam berapa.

Kubilang ke istriku, bahwa biar dia saja yang menggunakan hak suaranya. Saya memutuskan untuk merelakan hak suara saya. Karena saya sudah terlalu lama meninggalkan kantor, terlebih tadi sudah ditelpon oleh pihak
user dikantor. Memang sih beliau tidak mencari untuk minta saya kembali, namun sebagai karyawan, harusnya saya tahu diri untuk tidak terlalu lama meninggalkan jam kerja.


Kami pulang ke rumah dulu untuk menukar motor. Tadi dari rumah menggunakan motor istri. Karena ini saya sekalian mau ke kantor, jadi biar pakai motor saya lagi. Nanti istri tinggal di rumah mama dulu, baru nanti saat pulang kerja, sekalian dijemput.


Sesampainya di rumah mama, kami berniat mau menanyakan di TPS mana kami memilih, namun ternyata beliau tidak ada di rumah. Saya pun berinisiatif untuk mengecek laman kpu terkait data pemilih tadi. Kami temukan bahwa istri memilih di TPS 2.


Saya mendatangi lokasi yang dulu sempat dijadikan TPS saat pemilihan presiden, asumsi saya pada pemilu kali ini juga tempat yang sama. Ternyata tempat tersebut kosong. Saya mencoba kemungkinan lain. Tidak peduli berapapun nomor TPS-nya, nanti tinggal tanya, “TPS 2 dimana?”


Beruntung, lokasi selanjutnya memang benar TPS 2.


Sayang, saya duluan ya,” aku pamit mau langsung ke kantor.


Ini anak gimana? Kan tidak boleh masuk TPS...” sahut istriku.


Titip aja sama orang di sana. Mau aja kok dia...” saya pun langsung tancap gas. Karena sedari tadi perasaanku sudah jengkel.


Dua belokan kemudian, saya kepikiran. “Nanti istriku pulang ke rumah mama gimana?”


Saya pun balik kanan, menghampiri istriku. Menemaninya sampai selesai, lalu mengantarnya ke rumah mama. Sesmapainya di TPS lagi, saya liat dia berjalan menuju jalanan. Padahal belum juga lima menit.

“Ada apa?”


TPS-nya sudah tutup.”


jengkel dan kekesalanku pun bertambah. Hehehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar