Sabtu, 31 Oktober 2015

Penguasa Bayangan


Hari ini kami pulang cepat. Dari kabar yang kudengar, para guru mengadakan rapat mendadak atas desakan para orang tua murid berkenaan dengan nilai try out mereka yang anjlok. Kebetulan hari ini ada film bagus ditayangkan di bioskop kota kami, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka seperti ini. Aku langsung menelpon ibu di rumah, memberi tahu bahwa kami pulang cepat dan aku tidak langsung pulang.


Antrian loket karcis bioskop tidak terlalu panjang. Kukira film ini bakal diserbu oleh banyak orang dari semua kalangan. Tua-muda, pria-wanita, ammah maupun alim, ternyata aku keliru. Hanya berselang enam orang, akhirnya giliranku untuk membeli tiket tiba.

“Habis?” Jawaban dari kakak penjual tiket itu membenarkan dugaanku yang sebelumnya. Film ini laris.

“Iya, dek. Tiketnya sudah sold out sejak dua hari yang lalu.” Keren, tidak hanya laris, tapi sangat laris.

“Oke deh, kak. Makasih,” sahutku tidak bersemangat. Mau tidak mau aku harus membalikkan badan, pulang ke rumah dan melakukan sesuatu yang saat ini pun aku belum tahu apa yang nantinya akan aku lakukan.

Sebuah tangan tiba-tiba menyodorkan tiket film itu kepadaku. Tepat dari depan tubuhku. Secara refleks aku mengangkat kepalaku untuk melihat siapa orang itu. Rachel, adik kelasku, dia tersenyum.

“Aku punya dua kak. Rencananya tadi mau nonton sama Sarah, tapi dia mendadak gak bisa. Kalau kakak mau beli punya Sarah, setengah harga juga gak papa kok, dari pada mubazir,” ucapnya dengan begitu lancar.

“Eh, kakak ganti uangnya sepenuhnya aja. Dapat tiket ini aja udah untung banget.” Aku segera merogoh dompetku. Akhirnya aku menonton film itu, ditemani adik kelas di kursi sebelahku.

-o0o-

“Yang aku heran, kenapa Rachel punya tiket itu, Gas... Padahal jam tayang tiket yang dibelinya itu adalah jam sekolah kita, sedangkan tiket sudah habis dua hari sebelumnya, dan rapat guru pun tidak ada pemberitahuan sebelumnya.” Di balkon rumah Bagas, aku mengutarakan semua risauku. Memang ini hal sepele, tapi aku tidak bisa tenang jika sebuah pikiran sudah bersarang di kepalaku.

“Sepertinya dugaanku selama ini benar, Rachel lah sang penguasa bayangan di sekolah kita,” jawab Bagas, dia meletakkan sirup yang baru saja diminumnya.

“Maksud kamu?”

“Aku banyak melihat kejanggalan di sekolah kita itu, setiap peristiwa, kejadian, dan agenda-agenda sekolah, seperti dimanipulasi oleh sebagian kalangan. Mereka bukan pelaku, melainkan konseptor. Para siswa adalah boneka mereka, dan para guru adalah sistem yang secara otomatis bergerak sebagai reaksi dari perilaku siswa, hingga akhirnya oknum tersebut mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia seolah penguasa, namun tidak terlihat. Makanya aku menyebutnya penguasa bayangan,” Bagas menceritakan semua itu dalam satu tarikan nafas, suaranya sedikit berbisik meski tidak ada siapapun di sekitar kami. Aku hanya melongo mendengar pemaparannya.

“Lalu apa hubungannya dengan tiket bioskop itu?” mendengar pertanyaanku itu, Bagas langsung terjungkal.

“Rapat guru siang tadi merupakan rekayasa yang dibuatnya.”

“Apa!?” Kali ini aku yang hampir terjungkal, Bagas mengangguk mantap.

“Kamu tidak merasa aneh dengan perayaan uang tahun SMA kita beberapa minggu yang lalu? Di sanalah semua ini bermula. Kronologinya begini...

-o0o-

“Rachel, film yang kita nanti-nanti itu kan tayang tanggal tiga puluh Mei nanti lho!” SMS dari Sarah masuk ke ponselnya Rachel.

“Wah, tiga bulan lagi ya. Harus nabung dari sekarang nih, Sar.” Balas Rachel.

“Tapi itu jadwal sekolah kita lho, Hel...”

“Udah, tenang aja. Dimana ada kemauan, pasti ada jalan kok.”

Besoknya, Rachel mulai pendekatan kepada siswa-siswa berpengaruh di sekolah. Tokoh preman, tokoh selebriti, dan tokoh berprestasi selalu menjadi senjata terampuh mereka.

“Eh, Barong kamu ingat gak satu bulan lagi ada apaan?” Di sudut tergelap teras kios Bi Ijah, Rachel menghampiri Barong yang sedang mengemut lolipop bersama teman-temannya. Di hadapan masing-masing mereka terhidang susu kalengan.

“Apa?” Barong si siswa terbengal di sekolah balik bertanya. Dia kemudian memandangi teman-temannya, berharap mendapat jawaban. Namun teman-temannya hanya bisa mengangkat bahu.

“Aah, kamu ini bagaimana sih. Kukira susu kaleng yang kukasih tiap hari ini bakal bikin kamu pintar, hahaha...” ledek Rachel.

“Udah... jadi apaan tadi?” Barong menepuk bahu Rachel.

“Satu bulan lagi ultah SMA kita!!” seru Rachel berusaha membuat itu terdengar mengasyikkan.

“Terus?” Sungguh tanggapan Barong itu di luar dugaan Rachel. Barong sama sekali tidak peduli.

“Apa? Kamu benar-benar tidak peduli dengan lomba-lombanya? Lomba yang bakal menaikkan reputasi kamu sebagai orang terkuat, atau lomba yang berhadiah uang tunai itu?” kemampuan lobi Rachel mulai keluar.

“Kapan lombanya?” Barong terdengar bersemangat.

Setelah sukses dengan si preman, dia meneruskan ke si selebriti, dan tokoh berprestasi, hingga nantinya ketiga tokoh berpengaruh itu akan mempengaruhi orang-orang yang berada di bawah mereka, agar isu hari jadi sekolah ini terangkat dan dieksekusi oleh pihak OSIS, meskipun waktunya berdekatan dengan ujian.

“Lisa, di ulang tahun SMA kita bulan depan, kamu bakal ikut lomba nyanyi lagi gak?” kali ini Rachel mendekati Lisa si selebriti. Khusus Lisa, Rachel tidak hanya berharap dia bisa mempengaruhi siswa lain untuk mendongkrak isu HUT sekolah, namun juga pendanaan yang besar.

“kayaknya tidak, Hel. Murid baru itu banyak yang lebih hebat dari aku,” jawabnya agak sedih, sambil terus sibuk mengoles cat kuku di ujung jemarinya yang lentik. Jus tomat yang terminum setengah terabaikan, hingga butir kondensasi mulai menggenang di meja bundar depot depan sekolah.

“Udah... masalah itu bisa diatur. Tapi HUT kali ini aku dengar bakal banyak lomba, dan panitia kekurangan...”

“Kamu bisa jamin kemenanganku?” potong Lisa, matanya tetap terfokus pada kuku-kuku indahnya.

“Semua dalam kendaliku.”

“Di setiap perlombaan yang kuikuti?”

“Ya. Kecuali yang diikuti Barong.”

“Lalu apa tidak akan menimbulkan kecurigaan jika mereka melihat donaturnya adalah aku?” Kali ini Lisa sudah merapikan cat kukunya, dia berkonsentrasi pada topik yang dibawa Rachel.

“Ada kakak kelas kita yang baru buka online shop, dia perlu beriklan tapi tidak punya biaya. Kamu bisa memakai nama dia untuk menyalurkan dana itu.” Lisa tersenyum. Sekali lagi, Rachel berhasil mempengaruhi rekannya.

Hari yang dinanti para siswa pun tiba, satu minggu penuh ini akan diisi banyak perlombaan. Pada hari seninnya siswa kelas XII akan mengikuti ujian try out. Sebelumnya pihak OSIS melakukan lobi yang sangat alot dengan guru bagian kesiswaan karena jadwal yang sangat mepet itu, namun dengan dalih melonggarkan otot-otot stres menghadapi ujian, dan pertanggungjawaban dana yang sudah diterima jauh-jauh hari, akhirnya acara itu disetujui. Banyaknya lomba yang diadakan tahun ini hampir dua kali lipat lomba tahun sebelumnya, ini sengaja dikonsep Rachel agar para siswa tidak fokus belajar.

Apa yang direncanakan Rachel terwujud. Nilai para siswa anjlok, serangan selanjutnya dilancarkan Rachel. Senjata yang kali ini digunakannya adalah media.

“Hhh... para guru kita payah ya. Masa hampir semua kakak kelas kita nilai ujian try out-nya dibawah rata-rata semua,” Rachel datang dengan tiba-tiba dan langsung menggerutu pada Yanto yang sibuk membaca di perpustakaan. Mau tidak mau, Yanto menutup bukunya, dia berpaling pada Rachel.

“Kenapa jadi guru yang disalahkan? Bukannya siswa itu menentukan sendiri takdirnya? Rajin belajar nilai bagus, malas belajar nilai jelek.”

“Kalau satu-dua orang aku masih sepakat apa yang kamu katakan itu. Tapi ini... Sebenarnya aku tidak sepenuhnya menyalahkan para guru, hanya saja aku heran dengan apa yang terjadi di sini. Apa kamu tidak memikirkan itu? Siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini, To?” Rachel berlalu, dia menepuk pundak Yanto. Meninggalkannya bersama pemikiran yang mulai menggelayut di kepala jurnalis sekolah itu.

Benar saja, keesokan harinya, di buletin sekolah terpampang artikel dengan judul “Ah, hanya Try Out, kok.” Dalam artikel itu, Yanto mengarahkan pemikiran para pembacanya untuk menelaah ulang sistem mengajar para guru di sekolah. Beberapa hari terakhir artikel ini hangat dibicarakan, terlebih buletin ini juga diberikan kepada setiap orang tua siswa. Sehingga tidak sedikit siswa yang membawa komentar orang tua mereka terhadap isu tersebut ke sekolah.

Ketika hari penayangan film sudah semakin dekat, Rachel menggunakan senjata terakhirnya, yaitu SMS mingguan yang biasanya juga dikirimkan ke orang tua siswa. Tanpa hasutan Rachel, admin SMS yang sudah terinfeksi dan didorong oleh para siswa, mengirim permintaan kepada orang tua agar mendesak pihak sekolah memperbaiki keadaan. Benar saja, satu hari SMS itu tersebar, dan para orang tua dan guru sepakat mengadakan pertemuan, besoknya lagi rapat antara orang tua dan guru diadakan.

-o0o-

hingga akhirnya kamu ketemu Rachel di bioskop,” Bagas menutup hipotesanya.

“Tapi itu kan hanya imajinasi kamu, Bagas...” aku benar-benar tidak bisa menerima informasi tanpa bukti seperti yang baru saja dipaparkan Bagas.

“Wisnu, aku sudah melakukan penyelidikan ini sejak lama. Memang begitulah penguasa bayangan, dia sangat sulit untuk dilacak, kita hanya bisa menalar, membaca strategi dia selanjutnya, lalu menangkap basah. Intinya kita harus berada di depannya jika ingin menangkapnya.”

Wajah Bagas terlihat serius, dia tidak membual. Namun tetap sulit bagiku untuk menerimanya.

“Kamu harus lebih peka terhadap apapun yang terjadi, Wisnu. Kamu harus bijak menghadapinya, pemuda seperti kamu ini harus sensitif terhadap setiap peristiwa, agar kamu tidak terjebak, atau justru menyalahkan orang yang salah.”

Kalimat terakhir Bagas sungguh menyihirku. Aku merasa dilindungi olehnya, bahkan semua perkataannya yang tadi kuragukan, kali ini aku dapat menerimanya dengan sepenuh hati.

“Lalu apa yang harus kulakukan?” entah kenapa, kalimat itu tiba-tiba keluar dari mulutku.

“Kamu mau bergabung bersama kami untuk menghentikan aksi penguasa bayangan ini?” tanya Bagas, dia memicingkan matanya.

“Jika itu dapat menyelamatkan sekolah, kenapa tidak.”

“Sebenarnya yang diincar Rachel bukan film itu, tapi kamu,” ucap Bagas pelan, dan itu cukup mengagetkanku.

“Hah!? Maksud kamu?”

“Dia ingin memacari kamu. Karena dia tahu kalau kamu terobsesi menjadi ketua OSIS. Kalau dia jadian sama kamu, dan kamu menjadi ketua OSIS, geraknya pun akan semakin leluasa.”

“Hey, hey, hey... tunggu, kalian tahu dari mana kalau aku berencana menjadi ketua OSIS?” aku benar-benar digetkan oleh pernyataannya barusan.

“Sudahlah, itu tidak penting. Sekarang, kamu ikuti alur dia, kamu tembak dia di saat yang tepat, jangan memunculkan kecurigaannya. Dengan begitu, kita akan tahu apa saja yang dia rencanakan.”

“Siap!” jawabku mantap. Ini demi sekolahku.

-o0o-

Epilog
“Kak Bagas, makasih ya... tadi kak Wisnu nembak aku...” dengan wajah sumringah, gadis itu menghampiri Bagas di samping kios Bi Ijah. Kemudian dia menyerahkan amplop putih tebal yang tertutup rapat. “Ini honor kakak.”

“Oke, santai saja. Anggap saja kita tidak pernah bicara sebelumnya,” bisik Bagas, dengan cepat dia menyembunyikan amplop itu di balik jaketnya. Dia meninggalkan Rachel yang sedang berbahagia.
Di gedung olah raga sekolah, lebih tepatnya gudang penyimpanan peralatan olah raga, Bagas mengobrol bersama tiga temannya yang lain.

“Wisnu sudah jadian dengan Rachel. Dengan sifat manja Rachel itu, Wisnu pasti akan sulit mengatur kampanyenya,” Bagas melaporkan situasi kepada teman-temannya.

“Bagaimana jika Wisnu tetap lolos? Prestasi-prestasi dia sebelum agenda pemilihan ketua OSIS ini sudah menjadi kampanye bagi dirinya,” salah satu dari mereka menyanggah.


“Kita kontrol Wisnu melalui Rachel. Setidaknya Rachel berhutang budi padaku,” jawab Bagas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar