Seberkas HVS penuh ketikan kalimat mendarat kasar di meja
Najib. Najib yang tadinya sibuk mengetik, berhenti karena kaget oleh ulah Redha
barusan. Setelah menghempas kertas-kertas itu, redha menarik kursi di meja
sebelah, dia duduk di samping Najib.
“Ini tulisan yang tentang valentine’s day itu?” Najib memastikan.
“Iya. Kuharap pembaca buletin kita akan paham akan keharaman
valentine dari tulisanku itu!” jawab Redha dengan agak kesal. Najib mengangguk
sambil melanjutkan lagi pekerjaannya.
“Oke. Segera kumasukkan, aku masih mengerjakan rubrik yang
lain nih.”
“Baiklah kalau begitu, aku pulang duluan ya.” Redha beranjak
dari tempat duduknya, dengan tepukan ringan di punggung Najib dia
meninggalkannya.
-o0o-
Jingga langit senja menyambut kedatangan Redha di rumahnya. Lampu
teras yang menguning menyapanya di depan kontrakan kecil yang dia sebut rumah.
“Assalamu alaikum, abang pulang dek,” sapa Redha, memberi
tahu adiknya bahwa dia sudah pulang. Di kontrakan ini dia tinggal berdua dengan
adiknya yang baru kelas VII SMP.
Tidak ada jawaban, Redha mulai berpikiran yang tidak-tidak. Dari
tempatnya duduk melepas sepatu, dia menengok ke belakang, berharap melihat
kedatangan sosok adiknya yang akan mengagetkannya, namun itu tidak terjadi. Redha
bangkit dari duduknya, dengan agak sedikit tergesa-gesa dia mencari adiknya
dari ruangan-ke ruangan.
“Selamat datang kakak!” seru adiknya ketika Redha sampai ke
kamarnya sendiri. Tepat di balik pintu itu, adiknya berdiri merentangkan kedua
tangannya selebar mungkin, dengan senyum sumringah yang tidak ada sedikitpun
beban terlihat di sana.
“Aah... kamu ini bikin kaget abang saja...” Redha memeluk
adiknya, dia bersyukur kekhawatirannya salah. Kemudian dia menarik adiknya
untuk duduk di tempat tidurnya. “Kok tumben, dek? Pasti kamu ada maunya ya?”
“Ih abang buruk sangka teyus... taraaa... happy valentine’s day, abang!” seru
adiknya menyodorkan sebuah kado kecil berbentuk kubus yang terbungkus rapi,
lengkap dengan pita yang melilit indah.
Seketika raut muka Redha berubah datar, kemudian kecewa. Marah
yang ada dalam dadanya kini terkumpul, dia menghembus nafas yang cukup berat.
“Buang itu!” bentak Redha.
“Bang...” Adik heran, dia mulai takut dengan emosi kakaknya
yang tiba-tiba berubah.
“Abang bilang buang itu. Valentine itu haram!” teriak Redha
sambil berdiri.
Ucapan Redha tersebut cukup membuat adiknya terpukul, adik
berlari keluar kamar dengan sesenggukan yang mengiringinya. Kado yang sudah
disiapkan untuk kakaknya dia lempar begitu saja di kamar kakaknya.
Sepeninggal adiknya, Redha kembali duduk di tempat tidurnya.
Meletakkan semua beban di kerasnya tempat tidur itu. Dia sungguh tidak
menyangka adiknya ikut-ikutan merayakan aktifitas yang bertentangan dengan
akidah mereka. Cukup beberapa menit, Redha kembali tenang. Dia pun mencari
adiknya untuk makan malam.
Redha tidak menemukan adik di kamarnya. Di ruang keluarga
juga tidak ada, di dapur tidak ada, pun dengan toilet. Redha kembali panik, dia
merogoh hape di saku celananya.
“Sarah hilang, Dhin. Apa dia...”
“Iya, iya. Dia ada di sini. Cepetan kamu sini. Jangan lupa,
buka dulu kado dari dia,” jawab Andhini dari seberang sana.
Sebelum berangkat ke rumah rekan kerjanya itu, Redha kembali
ke kamarnya untuk membuka kado dari adiknya. Dengan satu segukan isak, air
matanya mengalir perlahan melihat kerajinan tangan dari batu yang dibikin oleh
adiknya. Pada batu pipih itu, tampak dua wajah laki-laki dan perempuan yang
dilukis dengan cat air. Di bawah lukisan wajah itu tertulis, “Terimakasih untuk
tahun-tahun terindahnya, bang. Maafkan adikmu yang selalu menyusahkan ini.”
-o0o-
Di depan pintu rumah itu, Andhini dan Sarah sudah menunggu. Sesampainya
di sana, Redha langsung memeluk adiknya.
“Maafin abang, dek...” ucapnya dalam pelukan erat itu.
“Sama-sama, bang. Sarah juga minta maaf. Tadi kak Andhini
udah jelasin kok kenapa kita gak boleh ngerayain valentine’s day.”
“Iya kamu ini kebiasaan banget. Kan udah sering kujelasin di
rapat redaksi biasanya. Kita gak bisa memaksakan pikiran kita ke orang lain. Bahkan
kalau perlu, kamu harus melihatnya dari sudut pandang lawan bicara kamu biar komunikasinya
lebih efektif.” Andhini ikut bicara.
“Iya, iya... makasih ya, Dhin. Maaf banget jadi ngerepotin
kamu terus. Kami pulang ya, assalamu alaikum.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar