Sabtu, 13 Februari 2016

Kado Valentine Untuk Kakak


Seberkas HVS penuh ketikan kalimat mendarat kasar di meja Najib. Najib yang tadinya sibuk mengetik, berhenti karena kaget oleh ulah Redha barusan. Setelah menghempas kertas-kertas itu, redha menarik kursi di meja sebelah, dia duduk di samping Najib.

“Ini tulisan yang tentang valentine’s day itu?” Najib memastikan.


“Iya. Kuharap pembaca buletin kita akan paham akan keharaman valentine dari tulisanku itu!” jawab Redha dengan agak kesal. Najib mengangguk sambil melanjutkan lagi pekerjaannya.

“Oke. Segera kumasukkan, aku masih mengerjakan rubrik yang lain nih.”

“Baiklah kalau begitu, aku pulang duluan ya.” Redha beranjak dari tempat duduknya, dengan tepukan ringan di punggung Najib dia meninggalkannya.

-o0o-

Jingga langit senja menyambut kedatangan Redha di rumahnya. Lampu teras yang menguning menyapanya di depan kontrakan kecil yang dia sebut rumah.

“Assalamu alaikum, abang pulang dek,” sapa Redha, memberi tahu adiknya bahwa dia sudah pulang. Di kontrakan ini dia tinggal berdua dengan adiknya yang baru kelas VII SMP.

Tidak ada jawaban, Redha mulai berpikiran yang tidak-tidak. Dari tempatnya duduk melepas sepatu, dia menengok ke belakang, berharap melihat kedatangan sosok adiknya yang akan mengagetkannya, namun itu tidak terjadi. Redha bangkit dari duduknya, dengan agak sedikit tergesa-gesa dia mencari adiknya dari ruangan-ke ruangan.

“Selamat datang kakak!” seru adiknya ketika Redha sampai ke kamarnya sendiri. Tepat di balik pintu itu, adiknya berdiri merentangkan kedua tangannya selebar mungkin, dengan senyum sumringah yang tidak ada sedikitpun beban terlihat di sana.

“Aah... kamu ini bikin kaget abang saja...” Redha memeluk adiknya, dia bersyukur kekhawatirannya salah. Kemudian dia menarik adiknya untuk duduk di tempat tidurnya. “Kok tumben, dek? Pasti kamu ada maunya ya?”


“Ih abang buruk sangka teyus... taraaa... happy valentine’s day, abang!” seru adiknya menyodorkan sebuah kado kecil berbentuk kubus yang terbungkus rapi, lengkap dengan pita yang melilit indah.
Seketika raut muka Redha berubah datar, kemudian kecewa. Marah yang ada dalam dadanya kini terkumpul, dia menghembus nafas yang cukup berat.

“Buang itu!” bentak Redha.

“Bang...” Adik heran, dia mulai takut dengan emosi kakaknya yang tiba-tiba berubah.

“Abang bilang buang itu. Valentine itu haram!” teriak Redha sambil berdiri.

Ucapan Redha tersebut cukup membuat adiknya terpukul, adik berlari keluar kamar dengan sesenggukan yang mengiringinya. Kado yang sudah disiapkan untuk kakaknya dia lempar begitu saja di kamar kakaknya.

Sepeninggal adiknya, Redha kembali duduk di tempat tidurnya. Meletakkan semua beban di kerasnya tempat tidur itu. Dia sungguh tidak menyangka adiknya ikut-ikutan merayakan aktifitas yang bertentangan dengan akidah mereka. Cukup beberapa menit, Redha kembali tenang. Dia pun mencari adiknya untuk makan malam.

Redha tidak menemukan adik di kamarnya. Di ruang keluarga juga tidak ada, di dapur tidak ada, pun dengan toilet. Redha kembali panik, dia merogoh hape di saku celananya.

“Sarah hilang, Dhin. Apa dia...”

“Iya, iya. Dia ada di sini. Cepetan kamu sini. Jangan lupa, buka dulu kado dari dia,” jawab Andhini dari seberang sana.

Sebelum berangkat ke rumah rekan kerjanya itu, Redha kembali ke kamarnya untuk membuka kado dari adiknya. Dengan satu segukan isak, air matanya mengalir perlahan melihat kerajinan tangan dari batu yang dibikin oleh adiknya. Pada batu pipih itu, tampak dua wajah laki-laki dan perempuan yang dilukis dengan cat air. Di bawah lukisan wajah itu tertulis, “Terimakasih untuk tahun-tahun terindahnya, bang. Maafkan adikmu yang selalu menyusahkan ini.”

-o0o-

Di depan pintu rumah itu, Andhini dan Sarah sudah menunggu. Sesampainya di sana, Redha langsung memeluk adiknya.

“Maafin abang, dek...” ucapnya dalam pelukan erat itu.

“Sama-sama, bang. Sarah juga minta maaf. Tadi kak Andhini udah jelasin kok kenapa kita gak boleh ngerayain valentine’s day.”

“Iya kamu ini kebiasaan banget. Kan udah sering kujelasin di rapat redaksi biasanya. Kita gak bisa memaksakan pikiran kita ke orang lain. Bahkan kalau perlu, kamu harus melihatnya dari sudut pandang lawan bicara kamu biar komunikasinya lebih efektif.” Andhini ikut bicara.

“Iya, iya... makasih ya, Dhin. Maaf banget jadi ngerepotin kamu terus. Kami pulang ya, assalamu alaikum.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar