“Malam ini jam sebelas, di tempat biasa. Teman-teman sudah siap dengan mobil dan persenjataan lengkap.”
“Siap, pak!”
“Aku sangat berharap padamu, Dio. Lakukanlah dengan bersih
seperti biasanya,” tambah Septo lagi, selaku kepala dewan keamanan di kota
Badak Ngamuk. Sebuah kota metropolitan kumuh yang penuh kekerasan.
“Siap, pak!”
“Oke, silakan pulang. Siapkan keperluanmu.”
“Siap!” Dio balik kanan. Membelakangi meja kerja Pak Septo,
lalu melangkah keluar, meninggalkan ruangan yang hanya diterangi bohlam 10
watt.
*
Kediaman Dio; Kamis 17 April; jam 22.40
“Ma,” bisik Dio pada istrinya yang sudah tertidur. “Papa
berangkat dulu. Kali ini di perbatasan kota. Mungkin dua atau tiga hari saja,
kelompok Pita Poldakot mau menyelundupkan senjata api ke kota.”
Istrinya menahan tangan Dio saat Dio mulai melangkah mundur.
Tatapannya penuh pinta pada Dio, meminta untuk tidak ditinggalkan lagi.
Beberapa minggu yang lalu, mereka mendapat serangan, entah suruhan dari mana
orang itu. Namun Dio berhasil melindungi istrinya.
“Tenang saja, ma,” Dio memberi senyuman. “Papa sudah meminta
Yusuf untuk mengawasi dari bangunan seberang. 24 jam.” Dio menegaskan pada kata
24 jam.
Yusuf adalah satu-satunya teman Dio yang masih dipercayanya
di kota ini. Mereka sahabat sejak kecil, saling melindungi satu sama lain.
Ketika Yusuf mendapat gangguan dari geng komplek sebelah, Dio melindunginya.
Ketika Dio bermasalah di sebuah cafe dengan beberapa preman, Yusuf membantunya
melumpuhkan sepuluh preman itu.
Tidak hanya saling melindungi, tetapi mereka juga suka
menolong beberapa penduduk yang mendapat gangguan dari kejahatan di jalan.
Sampai suatu ketika, mereka mendapat julukan Badak Bersaudara dari penduduk
kota, sebuah penghargaan atas aksi-aksi heroik mereka.
Hingga akhirnya, Dio mendapat panggilan dari dewan keamanan
kota untuk menjadi bagian dari mereka. Entah kenapa hanya Dio yang mendapat
panggilan, tidak dengan Yusuf. Meskipun demikian, persaudaraan mereka tetap
kokoh.
Dio meneruskan langkahnya keluar, saat sebelumnya mengecup
kening anaknya yang tertidur dengan pulas di samping mamanya. Dengan langkah
berat, akhirnya dia melewati pintu kamar. Mesin motor dihidupkannya, dia
memandang ke jendela lantai tiga bangunan di seberangnya, tempat Yusuf
mengawasi rumahnya. Yusuf melambai pada Dio, Dio pun melaju, menuju titik
pertemuan yang sudah ditetapkan.
*
Ruang kerja Septo; Jumat 18 April; Jam 03.59
Plak!! Sekeping CD dilemparkan Yusuf ke meja Septo.
“Sekarang kembalikan adikku!” teriak Yusuf pada Septo.
“Hhoho... Santai saja Badak, tunggu dulu,” Septo mengambil
CD yang barusan dilempar Yusuf, dia menyerahkannya kepada asisten di
sebelahnya. “Putar.”
Di video itu terlihat seorang perempuan mengesot di lantai,
kakinya sudah tertembak. Dia istrinya Dio. Beberapa detik kemudian, sebuah
tembakan yang menembus kepalanya mengakhiri hidup perempuan itu.
“Hahaha... Good job. Oke, sebelum kau bertemu dengan
adikmu, aku kasih tahu satu hal terlebih dahulu. Dio sebenarnya tidak pernah
sekalipun menodongkan pistol ke kepala ayahmu, apalagi menembaknya.”
“Brengsek kau!” Yusuf berlari ke arah Septo, hendak
memukulnya. Namun sebuah cartridge taser gun yang menancap di dadanya
membuatnya kejang-kejang.
“Ouch... Sakit badak kecil?” ledek Septo. “Sebaiknya
pertemukan saja sekarang Yusuf dengan adiknya. Burhan, kuberikan penghormatan
untukmu.”
Orang yang dipanggil dengan nama Burhan mengangguk, dia
menarik pistol dari balik jaket kulitnya. Tanpa basa basi, bahkan bismillah
sekalipun, pistol itu mengarah pada Yusuf yang masih lemah oleh listrik dari cartridge,
dan...
“Maafkan aku, Dio,” bisik Yusuf.
Dor!!!
“Haha... Satu Badak sudah mati. Tinggal satu lagi, maka kota
ini akan kita kuasai dengan mudah!!” teriak Septo. Suaranya bergema di ruangan
itu, hingga bohlam 10 watt pun berkedip karenanya. Seolah bersedih atas apa
yang akan terjadi pada kota mereka, kedamaian kota yang menjadi terancam, hanya
karena sebuah pengkhianatan dari satu Badak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar